Ifa dan Putera Mahkota dari Kerajaan Alas #PART1



Sore ini aku mendongeng lagi. Mendongeng adalah pekerjaan favoritku. Di sela waktu mengajar dan menulis buku. Aku membuka kelas mendongeng untuk anak-anak setiap sabtu sore di halaman belakang rumah. Kebetulan halaman rumah kami cukup luas untuk menampung 10-20 orang anak.
Aku suka membaca dongeng dan menceritakannya kembali pada anak-anak. Banyak sekali pelajaran dari cerita-cerita itu yang bisa kita petik. Seperti, menghormati orang tua agar tak berakhir seperti Malin Kundang atau si Batu Menangis.
Juga untuk tetap berbuat baik, meski kepada orang yang telah berbuat jahat pada kita, layaknya Suri Ikun yang tetap menghormati kakaknya yang selalu iri padanya. Kita juga bisa mencontoh Bawang Putih yang tetap berbakti kepada ibu tirinya dan Bawang Merah meski mereka berdua sering kali menyakiti Bawang Putih. Atau mencontoh sikap Putera Mahkota Amad Mude yang tetap berbuat baik pada pamannya meski telah merebut tahta kerajaan dari dirinya.
***
            Sebelum mendongeng, aku pergi ke perpustakaan untuk meminjam beberapa buku. Relawan magang di perpustakaan ini, sungguh berbaik hati mencarikan seluruh buku dan jurnal yang aku cari. Aku tinggal menunggu di bangku pengunjung saja.
Kulihat meja ini masih berisi tumpukan buku yang baru saja di baca. Mungkin belum sempat di rapihkan oleh pustakawan disini.
Ada satu buku yang menarik perhatianku. Sangat menarik perhatianku, hingga aku memutuskan untuk mengambil dan membukanya. Buku itu berwarna cokelat tebal. Sampulnya kelihatan tua dan lusuh sekali. Kertasnya sudah sangat lapuk dan menguning. Tanda bahwa umur buku ini mungkin lebih tua dari umurku.
Ku baca judul yang tertera di badan bukunya, “Putera Mahkota Ahmad Mude”. Aku tersentak kagum, ku lihat dengan saksama cover depan buku ini.
“Ini adalah cerita favoritku!” gumamku dengan riang sembari membuka halaman pertamanya.
Tiba-tiba tubuhku serasa ditarik. Seseorang menarik tubuhku secara paksa. Bukan seseorang, tapi beberapa orang. Sebab, aku tak mampu melawan tarikan itu. Aku jatuh kedalam lubang yang sangat gelap dan panjang. Aku tak bisa mencari tempat untuk berpegang. Aku berteriak sekencang-kencangnya, meminta pertolongan.
“Tolong! Tolong aku! Siapapun!”
Aku merasa lorong ini masih dalam dan panjang.
Buk!!!!
Aku terjatuh diatas tumpukkan jerami. Kepalaku terasa sangat pusing, perutku mual dan ingin muntah. Aku lihat sekelilingku di penuhi oleh pohon pohon besar yang menjulang tinggi dengan seberkas cahaya yang menyerobot masuk.
“Aku dimana?” gumamku. Tiba-tiba jerami yang kunaiki bergoyang, aku sangat takut. Ternyata aku berada didalam sebuah gerobak yang berisi jerami. Aku berdiri melihat kedepan, seorang pemuda menunggang kuda membawaku entah kemana.
“Kau siapa?!” pemuda itu terkejut melihatku. Lalu, menghentikan kudanya. Ia turun dari kuda dan menengadahkan wajahnya melihat kearahku. Parasnya sangat tampan. Kulitnya putih bersih dan badannya sangat tegap.
“Aku Ifa, aku tak tahu bagaimana bisa sampai disini” jelasku. Aku menatapnya dengan takut. Kulihat pakaiannya persis seperti pakaian zaman dahulu. Celana lebar sedikit mengatung, sebilah pisau di pinggang kiri, penutup kepala (entah apa namanya).
“Aku tak tahu aku ada dimana” aku lanjut menjelaskan sebelum ia menimpali.
“Kau berada di hutan Nona. Tempat ini sangat berbahaya untuk wanita sepertimu” jelasnya.
“Lalu, bagaimana cara agar aku bisa pulang? Adakah bis yang bisa aku tumpangi?” ia mengeryitkan alis.
“Bis? Apa itu? Kami hanya punya kuda atau keledai yang bisa kau tumpangi” jelasnya. Aku sangat kaget mendengarnya.
“Tidak ada bis? Memangnya tahun berapa ini?”
“Nona, ini tahun dimana Kerajaan Alas memimpin” jelasnya lagi. Ia memandangiku dengan heran.
“Aku sangat lelah, aku tak tahu harus pulang kemana. Yang aku ingat, aku berada di sebuah perpustakaan lalu aku membuka buku cerita dihadapanku dan...” suaraku tercekit. Buku itu!
“dan tiba-tiba aku sampai di tempat ini” sambungku lagi dengan nada lemas tak percaya. Aku terjebak didalam buku cerita. Itu jawabannya!
“Kau bicara apa Nona? Aku tak mengerti. Aku harus mengantarmu pulang. Karena ibuku akan sangat terkejut jika pulang membawa dirimu”
“Aku sudah katakan dua kali kalau aku tidak tahu bagaimana caranya pulang. Aku terjebak didalam buku yang sedang ku baca. Kamu mengerti?!”
“Hal itu tidak mungkin. Lagi pula, aku tidak bisa membawamu pulang ke rumahku. Tidak bisa!”
“Ku mohon! Apa kau lebih tega melihat aku jadi santapan harimau hutan disini?” aku merajuk seperti anak kecil. Kami sama-sama saling diam memandang satu sama lain. Ia menatapku seolah-olah aku ini orang gila.
“Aku tak tahu jalan pulang anak muda, kalau aku tahu. Aku sudah pergi sejak tadi” ujarku setengah ingin menangis. Ia melihatku dengan iba.
Aku masih terpaku menunggunya jawabannya. Apakah dia akan menampungku atau tidak. Ia berjalan kedepan sambil menarik tali kudanya, tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ifa dan Putera Mahkota dari Kerajaan Alas #PART1"

Post a Comment