Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2013

PEMATAH HATI

Pematah Hati “Tahu istilah heart breaker Ti?” tanyaku pada Tati,  “Pematah hati maksud lo?” jawabnya agak heran,  “Iya, tuh si Jaket kulit” telunjuknya mengarah pada pria berbadan bidang yang lewat di hadapan kami,  “Iya, lo suka sama dia?” aku menangguk pelan, hanya menaikkan alis sebenarnya, “ kok bisa?”  “Bisalah Ti, gue kan juga punya hati lagian dia baik kok. Cuma emang cuek aja, persis banget kaya cowok-cowok di film drama Korea”  “Haha.. gak nyangka gue, cewek sejengah, sehiperaktif, sebawel kaya lo suka sama orang dingin, kaku dan senyebelin dia, ck” “Hush, jangan gitulah Ti, justru kedinginanya itu yang bikin gue makin penasaran. Siapa tau gue bisa nyairin kedinginannya dia Ti” “Yaudah, terserah lo, gimana dianya? Suka?” “Hmm, engga Ti” “Tau darimana lo?” “Dia bilang terang-terangan Ti sama gue. Hiks” “Yaudah gak usah cengeng” “Gak kok, gue gak nangis. Gue jadi inget, waktu gue nangis dia malah bilang ‘gak mempan’ jah

GANTUNG

“Maaf ya ay” Bagas mengiba,  “Gak apa” jawab Nayla seperti biasa, “Beneran?” tanyanya lagi,”Iya” jawab Nayla lembut.  Hari yang melelahkan untuk gadis berambut ikal ini. Dengan segudang aktivitas ia masih mencoba meluangkan waktu untuk Bagas, pria dari daerah yang terkenal dengan Kota Pelajar, Surabaya. Terpisah pada jarak yang jauh kadang membuat hubungan mereka terobang ambing atau kasarnya tidak jelas akan bermuara dimana. “Aku pikir hubungan kita ini... mengganggu” katanya tanpa perasaan,  “Maksud kamu?” Bagas terkejut,  “Ya gimana gak ngeganggu, kalo aku lagi sibuk kamu ngerengek kaya bayi minta di temenin, kalo aku lagi bisa nemenin kamu. Kamunya malah sibuk sendiri. Kita itu gak punya waktu buat berdua” Nayla menahan nada bicaranya. Gumpalan kekesalan hanya tertahan sampai tenggorokkan.  “Aku juga gak tahu apa yang kamu lakuin jauh diluar sana, jauh dari jangkauan mata aku Gas!” kali ini nadanya lebih tinggi, muara kecil mulai tergenang di pelup

RONA MERAH

RONA MERAH                 Tersenyum senang di tengah perapian malam, jantung berdegup kencang, berdetak tak menentu. Mengoles rona merah pada kedua pipiku yang tembam. Entah reaksi biologis macam apa yang sedang terjadi. Hanya saja kata-kata yang berdansa malam ini begitu indah, mengajak aku terbang membelah lapisan atmosfer. “Aku suka kamu” katanya suatu malam, aku diam saja. Tersipu malu sebenarnya, “Kalo kamu?” tanyanya mencari tahu apakah perasaan kami sama atau sebaliknya, “Hmm, gimana yaa” jawabku manja. Pikiranku terjebak antara percaya dan tidak percaya, “Mungkinkah ini sungguhan?” pikirku. Aku meneriakkan kata yang sama dalam hati. Bibirku seperti terkunci untuk mengatakannya,”Kok diem?” tanyanya dari sebrang. Inginku putus pembicaraan kami, tapi besar hasratku untuk mendengar suaranya, “Aku juga” kataku perlahan, “Gak denger” katanya lagi, “Iya aku juga” volumeku meningkat satu bar, “Aku juga apa? Gak ngerti” ujarnya purapura bodoh, “Aku pikir kamu paham tanpa a