Hari Kesembilan Puluh Sembilan PART 2 -ending-
Rintik
hujan mulai turun satu persatu. Jatuh tepat di pipinya yang merona. Bibirku tertahan
sejenak, ingin ku usap bulir-bulir yang menyatu dengan rintik hujan di pipinya.
“Aku
masih merasakan getaran itu Sya, getarannya persis seperti getaran yang aku
rasakan kini, saat menatap matamu Sya” ku tatap ia dengan tajam.
“Sya, entah sudah hari keberapa. Ingin kutunaikan janji pada
atas hatiku. Maukah kamu menjadi ratuku?”
aku menghela nafas sejenak. Ku beranikan diri menatap matanya.
Rintik-rintik
hujan makin bercucuran, ku tatap Meisya dalam-dalam namun ia membuang pandangan.
Aku tak menemukan sebuah jawaban. Ini
bukan saat yang tepat. Batinku,
aku melepaskan genggamanku. Semua sudah
berakhir, tak ada ruang bagiku. Pikirku.
“Hujan
semakin deras, sebaiknya kita pulang” ajakku. “Aku akan antar kamu ke rumah”
tambahku lagi.
“Maaf
karena menanyakan hal seperti ini di waktu yang tak tepat” tambahku lagi. Aku
pulang tanpa sebuah jawaban. Sepanjang jalan Meisya tak mengatakan banyak hal,
suasana menjadi tambah dingin dengan balutan hujan sore ini.
###
Sudah lewat dari Sembilan puluh sembilan
hari, langkahku cukup rapuh untuk kembali merampungkan berbagai rutinitas hari ini. Termasuk mengunjungi perpustakaan salah
satunya. Padahal masih ada beberapa tugas yang harus aku rampungkan. Langkahku
bertambah berat sejak semalam Meisya tak membalas pesan atau telepon dariku. Aku masih
tergeletak dalam pelukan bantal dan guling. Aku ingin bersembunyi dari matahari
untuk saat ini.
Sembilan puluh sembilan hari berlalu,
sudah dari semalam kugulirkan airmata. Sesak.
Bila ini buah dari kesabaran, lantas mengapa rasanya pahit sekali? Aku
belum ingin menyerah. Meisya tak memberi jawaban semalam, bukan berarti dia
menolakku, ya bukan berarti itu sebuah penolakan.
Ku serbu handpone dipelipir kasur,
kuhubungi nomor Meisya,
“… tuuut…”
Nada suara tersambung mulai
terdengar. Angkatlah batinku.
“Hallo?” pita suara yang tak lagi
asing ditelingaku menjawab dari seberang sana.
“Hallo Meisya, apa kabar?” tanyaku
segera.
“Aku baik-baik saja” jawabnya
segera.
“Syukurlah” ujarku senang.
“…” suasana hening sejenak,
kunikmati kesunyian yang menyelubungi relung hati kami, aku tersenyum sendiri
mengingat Meisya mau mengangkat telepon
dariku. Entah bagaimana dengan Meisya.
“Ada apa Habsy?” tanyanya dari
seberang sana.
“Hanya ingin mendengar kabarmu saja”
jawabku seada dan sejujurnya, “Boleh aku merindukanmu? Perasaan ini membuatku
sulit untuk bernafas” tambahku lagi. Meisya masih terdiam di ujung sana.
“Habsy, aku masih sangat menyayangi
kak Akbar. Sungguh. Tak bermaksud membuatmu terluka, aku hanya ingin kamu tahu
yang sebenarnya”
“Aku juga tahu akan hal itu Meisya.
Akupun ingin kamu tahu yang sebenarnya tentang wanita yang berhasil membuatku
bertekuk lutut, meski tepukan cintaku tak terbalas, aku tetap tak peduli
Meisya. Sebab, suatu hari aku yakin akan ada separuh hati yang mengisi setengah
hatiku yang kosong ini, entah itu kamu atau oranglain.” Jelasku padanya.
“Kurasa kita memang lebih baik
berteman Sya” ujarku lagi, tanpa sadar bulir di sudut mataku mulai mengembang,
lalu pecah menyusuri kedua pipiku yang tirus. Untungnya Meisya tak melihat hal
ini, aku si pengecut yang menangis karena seorang gadis.
Hari ini kubiarkan cinta berlari,
mengadu do’a paling tinggi. Kita lebih
baik berteman saja, bukan begitu Meisya?
--Selesai--
0 Response to "Hari Kesembilan Puluh Sembilan PART 2 -ending-"
Post a Comment