BULAN SABIT DAN SECUP ES KRIM #PART 1



Oleh : Syafa ‘Atul Udzmah




Sluuurp!
Ku jilat es krim yang mulai meleleh di genggamanku, dinginnya membuat pagi ini lebih sejuk dari biasanya. Ada semangat yang tersembunyi pada tiap gigitannya. Aku merasa lebih tenang ketika es krim itu meleleh di mulutku.
”Kok pagi pagi udah ngemut es krim sih Ka?” tanya Zahra dengan heran.
”Hmm.. Jangan di tanya Ra, Aika itu suka banget es krim. Gak peduli waktu dan cuaca” jawab temanku yang satunya lagi, Aini. Aku mengangguk setuju.
 “Eh Aika, kok kamu belum masuk kelas ? Bukannya Bu Elmira udah dikelas?”
“Bu Elmira??” tanya ku heran, ku lihat jam di tangan sudah menunjukkan pukul 08.10 wit, sudah lewat sepuluh menit dari jadwal yang di tentukan. Aku terlalu asyik dengan es krim vanila kesukaanku, tanpa sadar sudah menghabiskan dua cup vanila pagi ini.
Aku sudah dua kali terlambat pada pelajaran Bu Elmira dan ia sangat tak suka dengan mahasiswa yang terlambat.
“Kalau gitu aku masuk duluan ya Ra!” ujarku.
Aku setengah berlari menuju kelas, kulihat sosok Dosen cantik itu dari balik jendela. Kelas baru saja dimulai, ku beranikan diri untuk menengok ke dalam ruangan.
“Assalammu’alaikum Bu, boleh saya masuk?” aku berdiri di depan pintu kelas.
            Bola matanya yang bulat itu natap ku dengan tajam. Bulu roma bergidik entah mengapa tatapannya membuat jantungku berpacu lebih cepat.
            “Wa’alaikummussalam. Kamu tahu jam berapa ini?” nada tenangnya memberikan kesan tersendiri untukku. Aku cukup bergidik menghadapinya, tapi ku putuskan untuk menyikapinya dengan tenang.
            “Jam 08.15 Bu, maaf Bu.”
Aku masih berdiri di luar kelas, sesekali kutatap wajahnya. Namun, nyatanya aku lebih suka mengumpatkan wajahku dari mata elangnya yang tak lepas menyorot diriku.
            Kamu boleh masuk, tapi dengan syarat”
“…” aku  melihatnya dengan wajah penuh tanya.
“Syaratnya kamu harus menulis seratus kosa kata dalam bahasa Arab dan dikumpulkan sebelum pukul 04.00 sore
            “…” aku mengangguk mengiyakan. Tak banyak kata dan sikap yang mampu kutunjukkan. Lalu, Bu Elmira mempersilahkan aku untuk masuk kekelas.
            “Terimakasih Bu”
            Aku melangkahkan kaki kedalam kelas. Puluhan pasang mata menatapku, mereka mendengar jelas negosiasi kami barusan. Ada yang menatapku dengan heran, ada yang tertawa, ada yang berbisik-bisik membuat ku tak nyaman. Lalu, ku lihat sepasang bola mata melihatku dengan cara yang berbeda kemudian bulan sabit melengkung sempurna dari wajahnya.
Aku masih bisa merasakan sepasang mata itu mengamatiku hingga aku duduk di sisi bangku paling belakang. Dan sabit itu masih melengkung membuat aku seperti es krim yang terkena hangat mentari. Meleleh.
# # #
Matahari mulai bergulir seubun-ubun, Bu Elmira sudah keluar kelas beberapa menit yang lalu. Murid- murid yang lain menggamit tas nya dengan semangat lalu berhamburan keluar. Aku masih terdiam di kelas, membuka buku dan mulai menyelesaikan tugas dari Bu Elmira. Pena sudah dalam genggaman, aku memulai mencari kata dalam kepalaku. Ada beberapa kata yang sulit untuk kuterjemahkan. Aku hanya punya waktu tiga jam sebelum matahari mulai bergulir kesisi barat.
            “Nih!”
            Tiba- tiba seseorang menyodorkan sebuah kamus Bahasa Arab di hadapanku, “Lihat saja di kamus, kamu bisa cepat selesai dan segera kembali ke asrama” ujarnya. Ia adalah pria yang menatapku dengan lengkungan sabitnya tadi pagi.
            “Aku juga pernah di hukum Bu Elmira, tugas yang di berikan juga sama. Mencari seratus kosa kata dalam bahasa Arab”
            Aku tak banyak bicara, suasana seperti ini membuatku sedikit tak nyaman.
Terimakasih untuk kamusnya” ujarku cepat.
“Sama-sama. Aku pulang duluan ya!”
Sosok lelaki dengan senyum sabit itu perlahan menjauh. Suara langkah kakinya tak terdengar lagi. Semakin jauh dari ruang kelas.
# # #
            Tak terasa bulan demi bulan telah berganti. Angin muson timur mulai melepas rindu pada kawasan Tenggara. Kini matahari lebih terik dan suhu naik beberapa derajat. Tiga cup es krim vanila telah ku lahap,
”Aika? Aku boleh tanya sesuatu?” ujar Aini, ”Boleh” jawabku.
”Aku beberapa kali lihat kamu ngobrol dengan laki-laki di kelas Bu Elmira, laki-laki itu siapa Ka?” tanyanya padaku.
Ku ingat-ingat lagi siapa laki-laki yang frekuensinya cukup sering berbicara denganku. Oh! Si pria dengan lengkung sabit, gumamku dalam hati.
”Oh.. anak itu! Aku juga gak tahu siapa namanya” jawabku.
”Loh kok bisa gak tahu? Kan udah beberapa kali ketemu” tanya Aini heran.
”Dia manis juga” celetuk Zahra.
”Ah biasa aja!” bantahku.
”Kenalin aku sama dia dong Ka” sambar Zahra lagi.
Seketika lidahku membeku, ada sesuatu yang memukul hatiku ketika Zahra mengatakan hal itu, kenalan?
Dengan berat aku mengangguk mengiyakan permintaan Zahra.
”Yes! Makasih ya Ka” ujarnya.
Tanpa sadar es krim ke empatku sudah mencair, kami terlalu asyik berbincang sedang es krim ini terlalu terlena dalam pelukan sinar mentari. Meleleh kemudian mencair.


# # #
Tap tap tap !!
            Aku setengah berlari menuju kampus, waktu terus memacu. Di senin pagi yang sama aku kembali bertemu Bu Elmira. Setelah hukuman beberapa bulan lalu, aku nyaris tak pernah terlambat. Kadang aku dan Bu Elmira datang bersamaan atau aku lima menit lebih dulu di kelas. Tugas yang cukup berat memakan waktu yang begitu banyak, sehingga selepas fajar aku masih terlena dengan sejumlah formula dan angka.
Tin.. tin.. tin..
Terdengar suara klakson di belakangku, aku menoleh ke belakang. Ku dapati sosok pria dengan lengkung sabit yang sejauh ini terus melempar peduli padaku -yang menurutku sedikit berlebihan-.
            “Mau kekampus?” tanyanya.
            “Iya”
            “Bareng yuk”
            “Engga usah, makasih” aku menolak.
            “Kenapa?” tanyanya.
            Aku menghentikan langkah, ia pun menghentikan roda duanya. Aku tak mengerti harus bagaimana mengatakannya, harusnya ia lebih paham dari diriku.
            ”Aku sudah besar, masih bisa jalan sendiri” aku kembali mengayuh langkah, sepuluh menit lagi batinku. Pria dengan lengkung sabit yang tak ku ketahui namanya itu segera melesat pergi dengan roda duanya tanpa mengatakan sepatah katapun.
# # #
            Hosh hosh hosh
            Aku mengatur napas, belum ku lihat sosok Bu Elmira di dalam kelas. Ku tempati posisi kosong di belakang, ku keluarkan buku catatan dan pena bergambar es krim kesayanganku. Es krim? Pikirku. Pena ini mengingatkanku pada se-cup es krim yang kulewati pagi ini. Bila matahari sampai melangkah ke ubun-ubun aku tak akan menemukan es krim favoritku itu. Ia akan habis di keroyok massa.
            ”Nona vanila sampai juga akhirnya” nada sedikit meledek itu sepertinya di tujukkan untukku, aku menoleh ke sumber suara itu berasal.
            Kudapati sekali lagi pria dengan lengkung sabit -dengan rasa peduli yang menurutku sedikit berlebihan- muncul di hadapanku.
            ”Vanila?” tanyaku heran.
            ”Iya, nona Vanila. Aku sering liat kamu ngemut es krim tiap pagi di kantin. Kita udah sering ketemu tiap pelajaran Bu Elmira. Tapi, aku belum juga tahu nama kamu” jelasnya. Aku masih tercengang mendengar pernyataannya. Ia benar-benar memiliki rasa peduli yang berlebih.
”Nih! Es krim kesukaanmu rasa vanila, sepertinya kamu gak suka cokelat” ia menyodorkan satu cup es krim di mejaku.
            “Silahkan menikmati, sebelum Bu Elmira datang” ia melempar kembali lengkungan sabit ke arahku.
            “Terimakasih” ujarku sambil tersenyum.
            Belum sempatku colek es krim vanila ini, Bu Elmira sudah berada di ruang kelas.
Detik-detik yang berlalu membuat es ini semakin mencair di peluk hangatnya surya. Sama seperti bongkahan es yang terjebak di relung hatiku, perlahan mencair.
# # #
            Seperti biasa pelajaran Bu Elmira selesai di siang hari. Lelaki dengan lengkungan sabit itu belum beranjak dari tempatnya. Aku teringat beberapa bulan lalu ia pula yang meminjamkan kamus untukku, tapi sampai detik ini aku belum mengembalikannya.
            ”Makasih untuk es krim dan kamus nya”
Ku letakkan buku tebal itu di atas mejanya. Ia kembali melempar senyum dan setiap ia melakukan hal itu gunung Everst serasa meleleh seketika.  
            Aku Afrizal. Kamu boleh panggil aku Rizal”
            ”Aku Aika”
            ”Kamu bukan Aika” ujarnya.
            ”...”
            ”Kamu nona Vanila” lanjutnya lagi, aku mengernyitkan alis, nona Vanila? Tanyaku dalam hati.
            ”Terserah mau panggil apa selama masih masuk akal” jawabku. Iya menyeringai dan mengacungkan ibu jarinya padaku.
            ”Nona Vanila, kamu keliatan berbeda”
            ”Maksudnya?” selidikku.
            ”Berbeda saja, tidak seperti perempuan lainnya”
”Maksud kamu? Aku gak seperti perempuan gitu?”
”Hahaha.. Bukan itu maksudku. Kamu terlalu berkilau disini, bikin silau para lelaki, termasuk aku
            Deg!
Kata-katanya membuat nadiku berdenyut lebih cepat. Aku menatap dia dengan wajah tak bersahaja. Akalku tak bisa menangkap maksud dibalik setiap tingkah dan perkataannya.
            “Kamu makin cantik kalau cemberut”
            Aku menatapnya lebih tak bersahaja, segera ku gamit tas yang tergeletak di atas meja.
            “Dan menurut aku, kamu sama seperti lelaki pada umumnya. Penggoda!”
            Aku segera berlalu meninggalkannya. Perkataan dan sikapnya sangat sulit untuk ku terjemahkan, dugaan tentangnya bercabang di pikiranku. Senyum seindah bulan sabit itu hampir saja menyihirku.
            Jangan-jangan aku mulai.... ah! Tidak boleh!

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "BULAN SABIT DAN SECUP ES KRIM #PART 1"

Post a Comment