CERPEN : Permintaan Yang Sederhana

Hai semuanya, kali ini aku mau post Cerpen Pertama aku di tahun 2018. Alhamdulillah selesai dalam dua hari. Senangnya, aku suka buat cerpen, berimajinasi dengan cerita yang aku bayangkan sendiri. Selamat membaca, kalau suka kau boleh share.



Permintaan Yang Sederhana


Hasil gambar untuk gambar sedih



Malam itu Aku tidak bisa tidur, gelisah, sedih, kecewa, marah, semua perasaan yang membuat sakit hati bercampur aduk. Aku selalu begini, bisa sedih berlarut-larut setiap kali membaca pesan singkat dari Ibu. Ibu sangat piawai mencabik-cabik hatiku menjadi potongan-potongan kertas kecil. Makannya setiap kali pesan singkat dari ibu muncul di layar telepon genggamku, aku selalu was-was, setidaknya aku harus menyiapkan diri kalau-kalau pesan yang Ibu kirimkan kembali mengoyak-ngoyak jantungku.

Hal serupa juga aku lakukan setiap kali aku ingin pergi mengikuti kompetisi, kejuaraan atau perlombaan. Aku tidak akan bilang apa-apa pada Ibu. Minta restu atau doa pun tidak, hal itu aku lakukan karena Ibu juga pandai menjatuhkan mentalku. Lebih pandai dari kakak senior di paskibraka atau pramuka. Oleh karena itu aku tidak pernah takut dengan orang yang sok-sok an galak dihadapanku, aku punya yang lebih galak di rumah. Jadi aku sudah biasa, itu bukan apa-apa.

Ibu akan bilang, “Memangnya kamu menang kalau ikut lomba?” atau “Udah cape-cape gak menang” atau “Ngapain lah ikut-ikut begituan menang juga engga” nah, inilah alasan kenapa aku lebih sering diam saja. Menang atau kalah biarlah aku simpan saja sendiri. Ibu ga perlu tahu prestasiku diluar. Toh ga akan membanggakan kalau tidak menghasilkan pundi-pundi rupiah untuknya. Ya, begitulah Ibuku.

Aku ingat sekali, sewaktu duduk di kelas 2 SMP, kala itu aku cukup aktif di sekolah. Bisa dibilang, guru-guru banyak yang mengenaliku. Untuk pertama kali dalam hidup aku masuk 3 besar. Ranking 2, betapa senangnya. Tapi disuatu kesempatan Ibu bilang, “Itu karena kamu aktif disekolah bukan karena kamu pintar” sedih sekali mendengarnya. Aku bolak balik menghafal, mencatat, belajar seolah tidak ada artinya. Itu juga menjadi sebab, aku tidak pernah peduli dengan peringkat di sekolah. Toh ada di peringkat atas atau bawah sama saja. Tidak cukup membuat Ibu bangga. Dari kecil aku memang tidak akur dengan Ibu. Mungkin memang ditakdirkan demikian oleh Tuhan. Ah, mengapa Tuhan setega itu padaku? Pikirku suatu kali.

Ah beginilah kalau sehabis membaca pesan dari Ibu, pikiranku jadi melantur kemana-mana, membuka luka yang susah payah kering. Aku cuma gadis belia berumur 17 tahun yang sampai hari ini lebih sering bertengkar dengan Ibu dari pada akur dengannya. Jadi, aku harus bagaimana Tuhan?

***

Hari pertama di minggu ini yang penuh dengan kesibukan, apalagi kalau bukan hari senin. Datang pagi kesekolah, berpakaian putih abu-abu, lengkap dengan gesper, topi dan tidak boleh datang terlambat. Seperti biasa aku berbaris dibarisan kedua dari depan, kalau malas aku akan menyeludup diam-diam kebelakang dan ngobrol berbisik-bisik ke teman di belakang. Kalau Bapak atau Ibu Guru melihat kami akan segera bungkam dan berbaris rapih. Ya begitulah anak SMA, menginjak masa remaja ada-ada saja tingkah lakunya.

“Dev, kok mata kamu bengkak? Habis nangis ya?” tanya Irina sambil menunjuk kedua mataku.

“Aku nangis? Memang ada alasan aku harus nangis? Haha” tanyaku balik untuk mengecohnya.

“Oh iya ya, kamu kan wonder woman ya Dev, hihi mana mungkin nangis” Aku hanya menyeringai dan mengangguk kuat, menyakinkan Irina kalau tak ada hal yang perlu aku tangisi.

Soal Ibu, aku tidak pernah cerita kepada siapapun, semua aku pendam sendiri. Aku tidak punya kakak, hanya tiga orang adik yang masih kecil-kecil. Jadi, aku harus menjadi sosok yang kuat buat adik-adikku. Bahkan rasanya aku pun tidak punya waktu untuk menyulam kisah cinta seperti remaja pada umumnya.

***

Aku suka sekali dengan mata birunya, setiap kali melewati kelasnya aku selalu memperhatikan dia. Pun aku merasa dia bertindak hal yang sama. Namun, bunga-bunga yang mulai bermekaran aku abaikan begitu saja. Aku suka, tapi bisa apa? Pacaran? Aku bisa digantung Ibu kalau ketahuan. Selalu kuurungkan niat itu.

Lagi pula, aku lemah sekali terhadap asmara. Hal yang sampai hari ini menjagaku adalah dengan kesibukan-kesibukan yang aku buat. Aku bersyukur, Tuhan menjagaku dengan cara itu. Kalau sudah saatnya tiba, hari dimana aku tidak perlu bersusah payah mengerjakan PR ditiap malam, tidak perlu capek-capek menyusun jadwal pelajaran untuk hari esok dan hari dimana aku terbebas dari ujian-ujian sekolah. Aku akan mencari seseorang yang bisa aku jadikan nahkoda untuk kapalku. Meski terasa lama, aku akan menunggu hari itu tiba.

Jadi, namanya Rio si pria bermata biru itu. Siswa kelas sebelah, dan aku selalu canggung kalau berjalan didepannya. Dia akan duduk didepan kelas bersama anak-anak yang lain, dan untuk menuju kelasku harus melewati kelasnya.

“Ri, yang ini kan ri” ujar anak laki-laki yang kupikir adalah temannya

“Oh itu seleranya Rio” ucap yang lainnya

“Selera? lo kira indomie” jawab yang lainnya lagi dengan kencang

“Hahaha” mereka tertawa bersama-sama. Aku merasa canggung. Agak susah untuk lewat karena mereka menghalangi jalan. Benar-benar tidak nyaman!

“Eh, udah ya kasian dia mau lewat” Dengan wajah malu dan sungkan Rio melempar senyum ke arahku, namun aku sudah kadung malu dan kesal jadi tidak berekspresi apa-apa.

“Maaf ya” lirihnya saat aku lewat.

Benar-benar sial siang ini. Aku terlembat masuk ke kelas karena harus mengantri di toilet dan teman-temanku yang lain memilih lebih dulu masuk ke kelas. Jadi, aku harus menghadapi mereka sendiri tadi.

***

Ping

Satu buah pesan masuk.

“Hai, maafin yang tadi ya”

Jemariku reflek membuka pesan sehingga terlanjut kubaca, Duh semestinya kumatikan saja tanda otomatis terbaca. Biar ku abaikan saja. Tak lama kemudian, dia mengirimkan kembali pesan.

“Rio”

Oh dia, ujarku dalam hati.

“Gak apa-apa” balasku singkat.

 Ping!

Satu pesan lagi masuk.
Tidak ku baca.
Tidak apa-apa.
Aku lebih memilih mengabaikan sebentar dari pada mengambil resiko menahan dag dig dug yang tidak menentu.

***

Masih seperti tadi, tidak ada satu pesan pun yang aku baca, aku hanya melihat sekilas dari layar pesan masuk. Ada dari Ibu, Nomornya Rio, Irina, dan beberapa group yang belum kubaca.

“Kok tadi pulang duluan sih Dev? Aku ditinggal, hiks” satu pesan dari Irina.

Maaf ya Irina, aku buru-buru jadi pulang duluan. Besok bareng ya, lain kali kalo aku duluan aku kabarin ya. Maaf banget” balasku.

Aku kembali membuka pesan yang lain.

“Beneran ga marah?” Rio, pesan yang belum sempat dibaca waktu dikelas

“Hei, kok ga di balas?”  Rio satu jam setelahnya

“Sudah sampai rumah belum?” Rio lagi beberapa jam kemudian

Tinggal pesan dari Ibu yang belum aku baca. Membuka pesan dari ibu, seperti nonton film horror, menakutkan. Efek setelahnya kamu akan terbayang-bayang sampai ga bisa tidur nyenyak, hanya sesak yang tertinggal.

“Kalau mau berangkat sekolah nyuci piring dulu, nyapu, ngepel, emang Ibumu ini pembantu. Udah diurusin, ga ada baktinya sama sekali sama orang tua” Ibu, beberapa jam yang lalu sebelum makan siang.

Aku terduduk lemas, menghembuskan nafas, mendelete semua pesan dari Ibu, bahkan membacanya untuk yang kedua kali aku tak ingin. Tidak berbakti? Selama ini aku belajar untuk meraih beasiswa agar tidak merepotkan Ibu, membantu merapihkan dan membereskan rumah. Apa tidak masuk hitungan? Memang benar kasih orang tua sepanjang jalan, tiada ujungnya. Tapi, Ibu dengan kata-katanya yang tajam tidak membantu kasih sayang ku tumbuh dengan sempurna. Ingin sekali aku membenci, tapi tidak bisa. Aku hanya bisa berdoa dalam sakit dan rindu yang amat dalam. Tuhan, kembalikan kebaikan yang ada pada Ibuku.

Hari ini Ibu pulang malam, aku pasti sudah tertidur kalau Ibu pulang. Aku membereskan dapur, mengelap cipratan minyak di kompor selepas masak tadi pagi mungkin. Mencuci piring kotor yang menumpuk, adik –adik ku pun membantu dengan senang hati. Rara yang masih TK pun turut membantu menyapu ruang tamu, Syafira adikku yang pertama mengepel lantai dan yang satunya lagi Zakir kelas 5 SD sudah tertidur pulas. Setelah semuanya beres, kami lekas membersihkan diri dan tidur. Kami tidak ingin Ibu pulang dan rumah dalam keadaan kotor, karena kami sangat terganggu dengan Ibu yang membangunkan kami saat sedang ngantuk-ngantuknya hanya karena masih ada piring kotor. Lalu menyuruh kami mencucinya, malam itu juga.

Pernah suatu ketika, kami sangat lelah pulang dari sekolah dan mengerjakan PR masing-masing. Ibu pulang, rumah belum kami rapihkan. Kami yang sedang tertidur dibangunkan oleh Ibu dengan suara yang keras dan bantingan pintu. Aku dan ketiga adikku bangun terkaget-kaget. Ibu tanpa rasa kasihan menyuruh kami semua untuk merapihkan rumah malam itu juga. Keesokan harinya kami semua bangun kesiangan dan terlambat datang ke sekolah.

Benar-benar hari yang melelahkan.

***

Rio terus menghubungiku, mengirim pesan, menelepon, mengirim surat semua dia lakukan. Aku tidak balas. Tapi dia tidak menyerah. Setiap lewat depan kelasnya, aku mengalihkan pandangan. Dari sudut mataku masih terlihat jelas dia tetap mengamatiku. Dan setiap hari pun begitu. Oh ayolah Rio kita masih terlalu belia, belajar saja sudah. Sikapmu sangat mengganggu belakangan ini, aku jadi tidak fokus belajar. Terlebih seharian ini, padahal jam pelajaran terakhir akan segera selesai namun aku masih belum bisa fokus belajar.

Sepulang sekolah giliranku mengerjakan piket harian. Piket dilakukan tiap pulang sekolah, harusnya aku berempat piket dengan teman-temanku. Namun, yang dua sakit dan yang satunya sudah pulang duluan, dia hanya membersihkan papan tulis, cih piket macam apa yang hanya membersihkan papan tulis. Jadi, aku sendirian menyapu ruang kelas. Sudah cukup sepi, siswa-siswi yang lain sudah pulang. Sementara aku masih menunaikan kewajiban.  

“Kenapa sih pada males banget piket” gerutuku, sambil mengorak arik sampah di kolong meja

“Ihh jorok banget” lirih ku lagi dengan jijik saat mendapati bungkus bekas siomay di salah satu meja yang lainnya

“ini kan kolong mejanya Ardi, kok cakep-cakep jorok sih” gerutuku makin kesal.

Aku bergegas menyapu sampah-sampah yang berserakan, siang sudah semakin sunyi dan aku tidak mau menjadi penghuni sekolah yang terakhir pulang.

“Tetap cantik yah, walaupun lagi ngomel-ngomel”

Aku tersontak kaget, jatungku serasa mau copot. Aku terlalu fokus ingin menyelesaikan tugas piket sehingga tidak sadar entah sejak kapan Rio sudah bersandar di depan pintu kelas sambil mengamatiku.

“Bikin kaget aja!” seruku.

“Abis kamu nyapu aja serius banget”

“Iya biar cepet selesai”

“Mau aku bantuin?”

“Ga usah!”

“Baiklah, kalau gitu aku bisa dengan tenang memandang kamu”

“Pulang aja sana, jangan gangguin aku”

“Aku ga gangguin kamu, justru aku membantu mengusir para penganggu”

“…”

“Kamu ga tau kan aku bisa melihat yang ga kamu lihat”

“A.. a.. aku ga takut!” jawabku gugup

“Yaudah aku pulang ya, padahal ada satu loh yang ngeliatin kamu dari tadi. Kayanya suka deh sama kamu dan ga mau pergi”

Rio mulai beranjak. Ah kenapa sih harus menceritakan hal-hal yang seram?! Aku paling takut dengan hal yang berbau horror dan mistis.

“Tu… tunggu! Aku sebentar lagi selesai” pintaku dengan cepat.

Rio mengernyitkan senyum, senyum kemenangan.

***

“Kok diam aja dari tadi, canggung yah” tanyanya.
Kami menapaki jalan pulang bersama, sekolah kami cukup jauh dari jalan utama dimana banyak kendaraan berlalu lalang. Jadi untuk mencapai kesana harus ditempuh dengan berjalan kaki atau naik ojek pangkalan.

“Ga apa- apa, ga tau aja mau ngomong apa” jawabku sejujurnya

“Kalau aku bilang aku suka kamu, terburu-buru banget ga yah?” tanyanya ringan saja.

“…” Aku terbengong, mudah sekali mengatakan hal-hal sensitif seperti itu.

Aku mempercepat langkahku, rasanya aneh sekali seolah rasa senang, tidak percaya semua bercampur aduk jadi satu.

“Hei! Aku hanya ingin bilang aku suka kamu, kenapa kamu menghindar?”

Rio menarik tanganku, aku terlalu lemas untuk menangkis genggamannya. Kedua bolah mata kami saling bertatap, detak jantungku berdegup kencang dan cepat sekali.

“Aku hanya ingin bilang aku suka kamu” ucapnya sekali lagi

“Iya, gak apa-apa” jawabku semawur

“Aku lega sudah bilang begini. Kamu ga perlu jawab apa-apa. Kalau nanti kamu sudah mulai suka sama aku bilang ya. Aku tunggu”

Rio melepas genggamannya, aku masih tertegun dengan pernyataannya barusan. Kami tetap berjalan bersama hingga berpisah di jalan utama. Sepanjang perjalanan kami saling diam, mungkin sibuk dengan berbagai pertanyaan yang menggelut dipikiran masing-masing.


***

Dadaku masih terasa sesak, senang tapi tak tahu harus berbuat apa. Aku biasa melepas penat dengan memasak makanan yang aku sukai, telur dadar dicampur dengan daun bawang dan beberapa potongan sosis serta bakso. Ah lezatnya.

Aku meletakkan wajan di atas kompor, ku pantik  gas sehingga api biru yang cantik menyala. “Oh sepertinya ini wajan baru ya, baru sekali atau dua kali dipakai” gumamku sendiri. Tak lama telur dadarku matang, kuangkat dan kusajikan dimeja makan.

Selagi makan, aku mencium bau tak sedap dan grumulan asap dari dapur, Yassalam aku mungkinkah aku lupa mematikan kompor tadi? Aku bergegas menuju dapur. Kulihat api masih menyala dan berkobar hingga membakar minyak yang ada diwajan, segera kumatikan kompornya. Aku khawatir dan takut sekali, kubasahi kain dan ku taruh diatas wajan yang penuh dengan api tadi. Karena tidak padam juga ku guyur dengan air.

Api padam, asap mengepul hingga seisi rumah.

“uhuk uhuk, kenapa ini Devina?!” Seru Ibu dari ruang tengah. Langkah kaki Ibu membuat aku gemetar, “Kenapa ini Devina? Kamu mau bakar rumah, Hah?!” Ibu menuju dapur dengan geram.
“Udah mati kok Bu, apinya” jawabku ketakutan.

Ibu menjambak rambutku, “Dasar anak sialan!” lalu menyeretku ke ruang tengah, “Ibu ampun! Aku ga sengaja” ujarku merintih. Aku takut sekali, ibu pasti memukuliku.
Benar saja, Ibu menjambak dan mengoyak-oyak kepalaku, tak puas dengan itu ibu memukuli tubuhku dengan tangannya, sakit sekali. Sakit fisik ini mungkin akan hilang dengan cepat, tapi saat ini hatiku jauh lebih terluka.

“Dasar anak ga tau diri, Ibu baru beli wajan dan kamu pakai sampai gosong, anak sialan!” Ibu masih memukuliku dan menjambak rambutku, aku ga bisa melawan tenagaku tidak kuat dan sudah habis karena ketakutan. “Aku ga sengaja Bu” rintihku lagi, “Kamu dari kecil memang nyusahin. Udah gede masih nyusahin juga” Ibu memukulku makin keras, entah dipukulan keberapa sekarang. 

Aku lemas sekali, tubuhku sakit semua, kepalaku pusing dan pandanganku mulai pudar. “Ibu maaf aku ga sengaja” lirihku lemas.

Ibu masih tidak puas melihat aku terkujur tak berdaya menahan sakit, mungkin belum cukup untuknya. 

Ibu lalu mencecikku hingga aku sulit bernafas, “Dasar anak sialan, kurang ajar, ga tau diuntung, kamu nyusahin aja kerjaannya!!”

Aku makin sesak, pandanganku pudar, sulit bernafas dan tubuhku lemas sekali. Jikalau aku mati hari ini, semoga Tuhan mengampuni dosa-dosaku. Aku… rasanya mulai tidak sadarkan diri.

***

Dalam samar-samar aku mendengar suara isak tangis. “Kakak bangun kak” aku mendengar suara Syafira, Rara dan juga Zakir. Namun aku tak kuasa membuka mata. Tubuhku lelah dan berat sekali.

“Kakak aku sayang kakak” ini suara Zakir, aku yakin sekali. Tapi, mataku masih terasa berat.

Oh ya aku habis dipukuli oleh Ibu. Apakah sekarang aku sudah mati?

“Kakak, bangun kak” oh ya ini suara Rara, imut sekali suaranya.

“Aku janji kalau Kakak bangun, aku akan kasih bantal dan guling aku buat kakak” bujuk Rara padaku. Oh ya, selama ini aku tidur tidak pernah pakai bantal dan guling. Karena kurang dan Ibu juga tidak mau belikan yang baru. Karena aku anak paling tua, aku yang harus mengalah.

Tanganku terasa hangat dan basah, perlahan aku mulai membuka mata. Aku melihat sekeliling dengan buram, lalu lama kelamaan mulai jelas. Ku lihat Rara, Syafira dan Zakir mengerumuniku. Tempat ini terasa asing bagiku, bukan dikamarku, bukan dirumah juga.

“Kakaaak! Huhuhu” seru ketiga adikku saat melihat aku siuman.

“Bu Rika, Kak Devina sudah sadar” seru Zakir adikku yang paling kecil.

“Syukurlah Neng Devina sudah sadar, tadi Rara minta tolong ke Ibu, katanya pas pulang sekolah lihat Mba Devina pingsan dan ga ada siapa-siapa di rumah. Jadi, Ibu bawa aja ke rumah Ibu.”

Bu Rika adalah tetanggaku, tetangga yang paling baik dengan aku dan adik-adikku. Bu Rika sudah paham dengan sifat Ibuku. Dia pernah melihat aku dipukuli oleh Ibu, tapi Ibu bukannya berhenti malah meneruskan saja. Bu Rika sempat melerai namun Ibu marah-marah dan mengatakan tidak perlu ikut campur pada Bu Rika.

Aku segera pamit dari rumah Bu Rika, tubuhku sakit sekali dan masih sangat lemas. Namun, aku tak sampi hati kalau harus melibatkan Bu Rika. Terlebih setelah kejadian itu, Ibuku sangat membenci Bu Rika. Aku lebih baik kembali dan beristirahat dirumah saja.

“Bu terima kasih banyak ya. Maaf ya Bu sudah merepotkan Ibu” ujarku. Bu Rika menatapku dengan penuh iba, “Ya Allah Neng Devina, gak apa-apa Neng, Ibu senang bisa bantu Neng Devina. Maaf Ibu ga bisa bantu banyak ya, kalau ada apa-apa kerumah aja ya Neng” jawab Bu Rika. Aku mencium tangan Bu Rika dan lekas kembali ke rumah.

***

Kepala ku masih sakit, tubuhku memar dan lebam dimana-mana, bekas cekikan Ibu juga masih terlihat, bahkan kukunya yang panjang membuat leherku lecet. Sakit sekali, tapi hatiku lebih sakit, remuk dan hancur. Dia Ibuku sendiri, tapi kenapa jahat sekali padaku. Kenapa setega ini? Aku sungguh tidak sanggup ya Tuhan.

Pemintaanku sangat sederhana. Aku hanya ingin dicintai dengan benar oleh Ibu. Aku juga ingin main bersama Ibu, curhat dengan benar kepada Ibu. Menceritakan kegelisahanku sebagai remaja, Ibu ada yang suka padaku di sekolah dan aku juga sepertinya suka dengan dia. Apa aku tidak bisa begitu dengan Ibu? Atau sekedar membagi mimpi dan cita-citaku? Apa tidak bisa barang sekali saja.


Air mataku mengalir dengan deras, kepalaku sakit sekali, nafasku mulai sesak. Aku tertidur lelap.

Dalam tidurku, aku melihat diriku dikelilingi banyak orang. Semua orang menangis, tapi aku hanya diam saja. Ku lihat Zakir menangis paling kencang, Rara juga, sedangkan Syafira mencoba menenangkan keduanya sambil menahan sedihnya sendiri. 

Aku lihat Ibu, duduk disofa tidak berdaya, duduk dengan tatapan mata yang kosong. Ada Bu Rika juga, beberapa tetangga yang lainnya. Mereka datang karena Zakir menagis meronta-ronta hingga terdengar oleh para tetangga. Aku hanya diam disana. Tidak berkutik apa-apa.

Tak lama polisi datang, membawa Ibu, Ibu juga pasrah saja. Dengan tatapan kosong dan tubuh lemas Ibu dibawa oleh polisi, dua orang yang membawa Ibu.

Aku juga melihat Rio, cinta yang mulai tumbuh dihatiku. Rio menangis tersedu-sedu, teman-temanku mencoba menenangkan Rio. Mereka semua menangis seolah-olah aku akan meninggalkan mereka semua.

“Devina Nadia?” suara syahdu terdengar memanggilku.

“Iya” jawabku. Aku melihat sekitar namun tidak ada seorang pun. Aku mencarinya lagi dengan teliti.

“Mari ikut saya, tempatmu bukan disini” ujarnya. Kulihat seseroang menggunakan pakaian putih dan bercahaya mengulurkan tangannya kepadaku.

“Yang sedang terbaring disana adalah jasadmu”

“…” Aku tertegun. Jadi, aku sudah tiada.

“Kamu meninggal semalam.” Jelasnya lagi padaku.

“Bukankah aku masih terlalu muda untuk mati”

“Kematian tidak mengenal usia, tidak mengenal rupa. Tuhan jauh lebih merindukanmu. Jadi, sudah saatnya kamu kembali kepangkuan-Nya”

“…” aku tidak bergeming. Begitu banyak hal yang ingin aku lakukan di dunia.

“Apa aku, bisa mendapatkan cinta dikehidupan yang lain?”

“Iya, tentu saja. Kamu anak baik, akan ditempatkan oleh Tuhan ditempat yang baik”

“Bisa merasakan cinta juga?”

“Iya, pasti, akan banyak cinta dan kasih sayang ditempatmu nanti”


Aku menggenggam tangannya, menuju cahaya ketempat ia akan membawaku. Aku sedih harus berpisah dengan keluargaku, dengan Ibu, adik-adikku, dan juga teman-temanku. Tapi, katanya mati adalah portal untuk menuju kehidupan yang lain. Menuju hidup yang lebih abadi. Aku berangkat duluan ya, Ibu, Syafira, Rara, Zakir, teman-teman semuanya, dan juga kamu, Rio. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "CERPEN : Permintaan Yang Sederhana"

Post a Comment