CERPEN : Permintaan Yang Sederhana
Hai semuanya, kali ini aku mau post Cerpen Pertama aku di tahun 2018. Alhamdulillah selesai dalam dua hari. Senangnya, aku suka buat cerpen, berimajinasi dengan cerita yang aku bayangkan sendiri. Selamat membaca, kalau suka kau boleh share.
“Kok tadi pulang duluan sih Dev? Aku ditinggal, hiks” satu pesan dari Irina.
Permintaan Yang Sederhana
Malam itu Aku tidak bisa tidur,
gelisah, sedih, kecewa, marah, semua perasaan yang membuat sakit hati bercampur
aduk. Aku selalu begini, bisa sedih berlarut-larut setiap kali membaca pesan
singkat dari Ibu. Ibu sangat piawai mencabik-cabik hatiku menjadi
potongan-potongan kertas kecil. Makannya setiap kali pesan singkat dari ibu
muncul di layar telepon genggamku, aku selalu was-was, setidaknya aku harus
menyiapkan diri kalau-kalau pesan yang Ibu kirimkan kembali mengoyak-ngoyak
jantungku.
Hal serupa juga aku lakukan
setiap kali aku ingin pergi mengikuti kompetisi, kejuaraan atau perlombaan. Aku
tidak akan bilang apa-apa pada Ibu. Minta restu atau doa pun tidak, hal itu aku
lakukan karena Ibu juga pandai menjatuhkan mentalku. Lebih pandai dari kakak
senior di paskibraka atau pramuka. Oleh karena itu aku tidak pernah takut
dengan orang yang sok-sok an galak dihadapanku, aku punya yang lebih galak di rumah. Jadi aku sudah biasa, itu
bukan apa-apa.
Ibu akan bilang, “Memangnya kamu
menang kalau ikut lomba?” atau “Udah cape-cape gak menang” atau “Ngapain lah
ikut-ikut begituan menang juga engga” nah, inilah alasan kenapa aku lebih
sering diam saja. Menang atau kalah biarlah aku simpan saja sendiri. Ibu ga
perlu tahu prestasiku diluar. Toh ga akan membanggakan kalau tidak menghasilkan
pundi-pundi rupiah untuknya. Ya, begitulah Ibuku.
Aku ingat sekali, sewaktu duduk
di kelas 2 SMP, kala itu aku cukup aktif di sekolah. Bisa dibilang, guru-guru
banyak yang mengenaliku. Untuk pertama kali dalam hidup aku masuk 3 besar.
Ranking 2, betapa senangnya. Tapi disuatu kesempatan Ibu bilang, “Itu karena
kamu aktif disekolah bukan karena kamu pintar” sedih sekali mendengarnya. Aku
bolak balik menghafal, mencatat, belajar seolah tidak ada artinya. Itu juga
menjadi sebab, aku tidak pernah peduli dengan peringkat di sekolah. Toh ada di
peringkat atas atau bawah sama saja. Tidak cukup membuat Ibu bangga. Dari kecil
aku memang tidak akur dengan Ibu. Mungkin memang ditakdirkan demikian oleh
Tuhan. Ah, mengapa Tuhan setega itu padaku? Pikirku suatu kali.
Ah beginilah kalau sehabis
membaca pesan dari Ibu, pikiranku jadi melantur kemana-mana, membuka luka yang
susah payah kering. Aku cuma gadis belia berumur 17 tahun yang sampai hari ini
lebih sering bertengkar dengan Ibu dari pada akur dengannya. Jadi, aku harus
bagaimana Tuhan?
***
Hari pertama di minggu ini yang
penuh dengan kesibukan, apalagi kalau bukan hari senin. Datang pagi kesekolah,
berpakaian putih abu-abu, lengkap dengan gesper, topi dan tidak boleh datang
terlambat. Seperti biasa aku berbaris dibarisan kedua dari depan, kalau malas
aku akan menyeludup diam-diam kebelakang dan ngobrol berbisik-bisik ke teman di
belakang. Kalau Bapak atau Ibu Guru melihat kami akan segera bungkam dan
berbaris rapih. Ya begitulah anak SMA, menginjak masa remaja ada-ada saja tingkah
lakunya.
“Dev, kok mata kamu bengkak?
Habis nangis ya?” tanya Irina sambil menunjuk kedua mataku.
“Aku nangis? Memang ada alasan
aku harus nangis? Haha” tanyaku balik untuk mengecohnya.
“Oh iya ya, kamu kan wonder woman
ya Dev, hihi mana mungkin nangis” Aku hanya menyeringai dan mengangguk kuat,
menyakinkan Irina kalau tak ada hal yang perlu aku tangisi.
Soal Ibu, aku tidak pernah cerita
kepada siapapun, semua aku pendam sendiri. Aku tidak punya kakak, hanya tiga
orang adik yang masih kecil-kecil. Jadi, aku harus menjadi sosok yang kuat buat
adik-adikku. Bahkan rasanya aku pun tidak punya waktu untuk menyulam kisah
cinta seperti remaja pada umumnya.
***
Aku suka sekali dengan mata
birunya, setiap kali melewati kelasnya aku selalu memperhatikan dia. Pun aku
merasa dia bertindak hal yang sama. Namun, bunga-bunga yang mulai bermekaran
aku abaikan begitu saja. Aku suka, tapi bisa apa? Pacaran? Aku bisa digantung
Ibu kalau ketahuan. Selalu kuurungkan niat itu.
Lagi pula, aku lemah sekali
terhadap asmara. Hal yang sampai hari ini menjagaku adalah dengan
kesibukan-kesibukan yang aku buat. Aku bersyukur, Tuhan menjagaku dengan cara
itu. Kalau sudah saatnya tiba, hari dimana aku tidak perlu bersusah payah
mengerjakan PR ditiap malam, tidak perlu capek-capek menyusun jadwal pelajaran
untuk hari esok dan hari dimana aku terbebas dari ujian-ujian sekolah. Aku akan
mencari seseorang yang bisa aku jadikan nahkoda untuk kapalku. Meski terasa
lama, aku akan menunggu hari itu tiba.
Jadi, namanya Rio si pria bermata
biru itu. Siswa kelas sebelah, dan aku selalu canggung kalau berjalan
didepannya. Dia akan duduk didepan kelas bersama anak-anak yang lain, dan untuk
menuju kelasku harus melewati kelasnya.
“Ri, yang ini kan ri” ujar anak
laki-laki yang kupikir adalah temannya
“Oh itu seleranya Rio” ucap yang
lainnya
“Selera? lo kira indomie” jawab
yang lainnya lagi dengan kencang
“Hahaha” mereka tertawa
bersama-sama. Aku merasa canggung. Agak susah untuk lewat karena mereka
menghalangi jalan. Benar-benar tidak nyaman!
“Eh, udah ya kasian dia mau
lewat” Dengan wajah malu dan sungkan Rio melempar senyum ke arahku, namun aku
sudah kadung malu dan kesal jadi tidak berekspresi apa-apa.
“Maaf ya” lirihnya saat aku
lewat.
Benar-benar sial siang ini. Aku
terlembat masuk ke kelas karena harus mengantri di toilet dan teman-temanku
yang lain memilih lebih dulu masuk ke kelas. Jadi, aku harus menghadapi mereka
sendiri tadi.
***
Ping
Satu buah pesan masuk.
“Hai, maafin yang tadi ya”
Jemariku reflek membuka pesan
sehingga terlanjut kubaca, Duh semestinya kumatikan saja tanda otomatis
terbaca. Biar ku abaikan saja. Tak lama kemudian, dia mengirimkan kembali
pesan.
“Rio”
Oh dia, ujarku dalam hati.
“Gak apa-apa” balasku singkat.
Ping!
Satu pesan lagi masuk.
Tidak ku baca.
Tidak apa-apa.
Aku lebih memilih mengabaikan
sebentar dari pada mengambil resiko menahan dag dig dug yang tidak menentu.
***
Masih seperti tadi, tidak ada
satu pesan pun yang aku baca, aku hanya melihat sekilas dari layar pesan masuk.
Ada dari Ibu, Nomornya Rio, Irina, dan beberapa group yang belum kubaca.
“Kok tadi pulang duluan sih Dev? Aku ditinggal, hiks” satu pesan dari Irina.
“Maaf ya Irina, aku buru-buru jadi pulang duluan. Besok bareng ya, lain
kali kalo aku duluan aku kabarin ya. Maaf banget” balasku.
Aku kembali membuka pesan yang
lain.
“Beneran ga marah?” Rio, pesan yang belum sempat dibaca waktu
dikelas
“Hei, kok ga di balas?” Rio
satu jam setelahnya
“Sudah sampai rumah belum?” Rio lagi beberapa jam kemudian
Tinggal pesan dari Ibu yang belum
aku baca. Membuka pesan dari ibu, seperti nonton film horror, menakutkan. Efek
setelahnya kamu akan terbayang-bayang sampai ga bisa tidur nyenyak, hanya sesak
yang tertinggal.
“Kalau mau berangkat sekolah nyuci piring dulu, nyapu, ngepel, emang
Ibumu ini pembantu. Udah diurusin, ga ada baktinya sama sekali sama orang tua”
Ibu, beberapa jam yang lalu sebelum makan siang.
Aku terduduk lemas, menghembuskan
nafas, mendelete semua pesan dari Ibu, bahkan membacanya untuk yang kedua kali
aku tak ingin. Tidak berbakti? Selama ini aku belajar untuk meraih beasiswa
agar tidak merepotkan Ibu, membantu merapihkan dan membereskan rumah. Apa tidak
masuk hitungan? Memang benar kasih orang tua sepanjang jalan, tiada ujungnya.
Tapi, Ibu dengan kata-katanya yang tajam tidak membantu kasih sayang ku tumbuh
dengan sempurna. Ingin sekali aku membenci, tapi tidak bisa. Aku hanya bisa
berdoa dalam sakit dan rindu yang amat dalam. Tuhan, kembalikan kebaikan yang
ada pada Ibuku.
Hari ini Ibu pulang malam, aku
pasti sudah tertidur kalau Ibu pulang. Aku membereskan dapur, mengelap cipratan
minyak di kompor selepas masak tadi pagi mungkin. Mencuci piring kotor yang
menumpuk, adik –adik ku pun membantu dengan senang hati. Rara yang masih TK pun
turut membantu menyapu ruang tamu, Syafira adikku yang pertama mengepel lantai
dan yang satunya lagi Zakir kelas 5 SD sudah tertidur pulas. Setelah semuanya
beres, kami lekas membersihkan diri dan tidur. Kami tidak ingin Ibu pulang dan
rumah dalam keadaan kotor, karena kami sangat terganggu dengan Ibu yang
membangunkan kami saat sedang ngantuk-ngantuknya hanya karena masih ada piring
kotor. Lalu menyuruh kami mencucinya, malam itu juga.
Pernah suatu ketika, kami sangat
lelah pulang dari sekolah dan mengerjakan PR masing-masing. Ibu pulang, rumah
belum kami rapihkan. Kami yang sedang tertidur dibangunkan oleh Ibu dengan
suara yang keras dan bantingan pintu. Aku dan ketiga adikku bangun
terkaget-kaget. Ibu tanpa rasa kasihan menyuruh kami semua untuk merapihkan
rumah malam itu juga. Keesokan harinya kami semua bangun kesiangan dan
terlambat datang ke sekolah.
Benar-benar hari yang melelahkan.
***
Rio terus menghubungiku, mengirim
pesan, menelepon, mengirim surat semua dia lakukan. Aku tidak balas. Tapi dia
tidak menyerah. Setiap lewat depan kelasnya, aku mengalihkan pandangan. Dari
sudut mataku masih terlihat jelas dia tetap mengamatiku. Dan setiap hari pun
begitu. Oh ayolah Rio kita masih terlalu belia, belajar saja sudah. Sikapmu sangat
mengganggu belakangan ini, aku jadi tidak fokus belajar. Terlebih seharian ini,
padahal jam pelajaran terakhir akan segera selesai namun aku masih belum bisa
fokus belajar.
Sepulang sekolah giliranku
mengerjakan piket harian. Piket dilakukan tiap pulang sekolah, harusnya aku
berempat piket dengan teman-temanku. Namun, yang dua sakit dan yang satunya
sudah pulang duluan, dia hanya membersihkan papan tulis, cih piket macam apa
yang hanya membersihkan papan tulis. Jadi, aku sendirian menyapu ruang kelas. Sudah
cukup sepi, siswa-siswi yang lain sudah pulang. Sementara aku masih menunaikan
kewajiban.
“Kenapa sih pada males banget
piket” gerutuku, sambil mengorak arik sampah di kolong meja
“Ihh jorok banget” lirih ku lagi
dengan jijik saat mendapati bungkus bekas siomay di salah satu meja yang
lainnya
“ini kan kolong mejanya Ardi, kok
cakep-cakep jorok sih” gerutuku makin kesal.
Aku bergegas menyapu
sampah-sampah yang berserakan, siang sudah semakin sunyi dan aku tidak mau
menjadi penghuni sekolah yang terakhir pulang.
“Tetap cantik yah, walaupun lagi
ngomel-ngomel”
Aku tersontak kaget, jatungku
serasa mau copot. Aku terlalu fokus ingin menyelesaikan tugas piket sehingga
tidak sadar entah sejak kapan Rio sudah bersandar di depan pintu kelas sambil
mengamatiku.
“Bikin kaget aja!” seruku.
“Abis kamu nyapu aja serius
banget”
“Iya biar cepet selesai”
“Mau aku bantuin?”
“Ga usah!”
“Baiklah, kalau gitu aku bisa
dengan tenang memandang kamu”
“Pulang aja sana, jangan gangguin
aku”
“Aku ga gangguin kamu, justru aku
membantu mengusir para penganggu”
“…”
“Kamu ga tau kan aku bisa melihat
yang ga kamu lihat”
“A.. a.. aku ga takut!” jawabku
gugup
“Yaudah aku pulang ya, padahal
ada satu loh yang ngeliatin kamu dari tadi. Kayanya suka deh sama kamu dan ga
mau pergi”
Rio mulai beranjak. Ah kenapa sih
harus menceritakan hal-hal yang seram?! Aku paling takut dengan hal yang berbau
horror dan mistis.
“Tu… tunggu! Aku sebentar lagi
selesai” pintaku dengan cepat.
Rio mengernyitkan senyum, senyum
kemenangan.
***
“Kok diam aja dari tadi, canggung
yah” tanyanya.
Kami menapaki jalan pulang
bersama, sekolah kami cukup jauh dari jalan utama dimana banyak kendaraan
berlalu lalang. Jadi untuk mencapai kesana harus ditempuh dengan berjalan kaki
atau naik ojek pangkalan.
“Ga apa- apa, ga tau aja mau
ngomong apa” jawabku sejujurnya
“Kalau aku bilang aku suka kamu,
terburu-buru banget ga yah?” tanyanya ringan saja.
“…” Aku terbengong, mudah sekali
mengatakan hal-hal sensitif seperti itu.
Aku mempercepat langkahku,
rasanya aneh sekali seolah rasa senang, tidak percaya semua bercampur aduk jadi
satu.
“Hei! Aku hanya ingin bilang aku
suka kamu, kenapa kamu menghindar?”
Rio menarik tanganku, aku terlalu
lemas untuk menangkis genggamannya. Kedua bolah mata kami saling bertatap,
detak jantungku berdegup kencang dan cepat sekali.
“Aku hanya ingin bilang aku suka
kamu” ucapnya sekali lagi
“Iya, gak apa-apa” jawabku
semawur
“Aku lega sudah bilang begini.
Kamu ga perlu jawab apa-apa. Kalau nanti kamu sudah mulai suka sama aku bilang
ya. Aku tunggu”
Rio
melepas genggamannya, aku masih tertegun dengan pernyataannya barusan. Kami
tetap berjalan bersama hingga berpisah di jalan utama. Sepanjang perjalanan
kami saling diam, mungkin sibuk dengan berbagai pertanyaan yang menggelut
dipikiran masing-masing.
***
Dadaku
masih terasa sesak, senang tapi tak tahu harus berbuat apa. Aku biasa melepas
penat dengan memasak makanan yang aku sukai, telur dadar dicampur dengan daun
bawang dan beberapa potongan sosis serta bakso. Ah lezatnya.
Aku meletakkan
wajan di atas kompor, ku pantik gas
sehingga api biru yang cantik menyala. “Oh sepertinya ini wajan baru ya, baru
sekali atau dua kali dipakai” gumamku sendiri. Tak lama telur dadarku matang,
kuangkat dan kusajikan dimeja makan.
Selagi
makan, aku mencium bau tak sedap dan grumulan asap dari dapur, Yassalam aku
mungkinkah aku lupa mematikan kompor tadi? Aku bergegas menuju dapur. Kulihat
api masih menyala dan berkobar hingga membakar minyak yang ada diwajan, segera
kumatikan kompornya. Aku khawatir dan takut sekali, kubasahi kain dan ku taruh
diatas wajan yang penuh dengan api tadi. Karena tidak padam juga ku guyur
dengan air.
Api
padam, asap mengepul hingga seisi rumah.
“uhuk
uhuk, kenapa ini Devina?!” Seru Ibu dari ruang tengah. Langkah kaki Ibu membuat
aku gemetar, “Kenapa ini Devina? Kamu mau bakar rumah, Hah?!” Ibu menuju dapur
dengan geram.
“Udah mati kok Bu, apinya” jawabku ketakutan.
“Udah mati kok Bu, apinya” jawabku ketakutan.
Ibu
menjambak rambutku, “Dasar anak sialan!” lalu menyeretku ke ruang tengah, “Ibu
ampun! Aku ga sengaja” ujarku merintih. Aku takut sekali, ibu pasti memukuliku.
Benar
saja, Ibu menjambak dan mengoyak-oyak kepalaku, tak puas dengan itu ibu
memukuli tubuhku dengan tangannya, sakit sekali. Sakit fisik ini mungkin akan
hilang dengan cepat, tapi saat ini hatiku jauh lebih terluka.
“Dasar
anak ga tau diri, Ibu baru beli wajan dan kamu pakai sampai gosong, anak
sialan!” Ibu masih memukuliku dan menjambak rambutku, aku ga bisa melawan
tenagaku tidak kuat dan sudah habis karena ketakutan. “Aku ga sengaja Bu”
rintihku lagi, “Kamu dari kecil memang nyusahin. Udah gede masih nyusahin juga”
Ibu memukulku makin keras, entah dipukulan keberapa sekarang.
Aku lemas sekali,
tubuhku sakit semua, kepalaku pusing dan pandanganku mulai pudar. “Ibu maaf aku
ga sengaja” lirihku lemas.
Ibu masih tidak puas melihat aku terkujur tak
berdaya menahan sakit, mungkin belum cukup untuknya.
Ibu lalu mencecikku hingga
aku sulit bernafas, “Dasar anak sialan, kurang ajar, ga tau diuntung, kamu
nyusahin aja kerjaannya!!”
Aku makin
sesak, pandanganku pudar, sulit bernafas dan tubuhku lemas sekali. Jikalau aku
mati hari ini, semoga Tuhan mengampuni dosa-dosaku. Aku… rasanya mulai tidak
sadarkan diri.
***
Dalam
samar-samar aku mendengar suara isak tangis. “Kakak bangun kak” aku mendengar
suara Syafira, Rara dan juga Zakir. Namun aku tak kuasa membuka mata. Tubuhku
lelah dan berat sekali.
“Kakak
aku sayang kakak” ini suara Zakir, aku yakin sekali. Tapi, mataku masih terasa
berat.
Oh ya
aku habis dipukuli oleh Ibu. Apakah sekarang aku sudah mati?
“Kakak,
bangun kak” oh ya ini suara Rara, imut sekali suaranya.
“Aku
janji kalau Kakak bangun, aku akan kasih bantal dan guling aku buat kakak”
bujuk Rara padaku. Oh ya, selama ini aku tidur tidak pernah pakai bantal dan
guling. Karena kurang dan Ibu juga tidak mau belikan yang baru. Karena aku anak
paling tua, aku yang harus mengalah.
Tanganku
terasa hangat dan basah, perlahan aku mulai membuka mata. Aku melihat
sekeliling dengan buram, lalu lama kelamaan mulai jelas. Ku lihat Rara, Syafira
dan Zakir mengerumuniku. Tempat ini terasa asing bagiku, bukan dikamarku, bukan
dirumah juga.
“Kakaaak!
Huhuhu” seru ketiga adikku saat melihat aku siuman.
“Bu
Rika, Kak Devina sudah sadar” seru Zakir adikku yang paling kecil.
“Syukurlah
Neng Devina sudah sadar, tadi Rara minta tolong ke Ibu, katanya pas pulang
sekolah lihat Mba Devina pingsan dan ga ada siapa-siapa di rumah. Jadi, Ibu
bawa aja ke rumah Ibu.”
Bu Rika
adalah tetanggaku, tetangga yang paling baik dengan aku dan adik-adikku. Bu Rika
sudah paham dengan sifat Ibuku. Dia pernah melihat aku dipukuli oleh Ibu, tapi
Ibu bukannya berhenti malah meneruskan saja. Bu Rika sempat melerai namun Ibu
marah-marah dan mengatakan tidak perlu ikut campur pada Bu Rika.
Aku
segera pamit dari rumah Bu Rika, tubuhku sakit sekali dan masih sangat lemas.
Namun, aku tak sampi hati kalau harus melibatkan Bu Rika. Terlebih setelah
kejadian itu, Ibuku sangat membenci Bu Rika. Aku lebih baik kembali dan
beristirahat dirumah saja.
“Bu
terima kasih banyak ya. Maaf ya Bu sudah merepotkan Ibu” ujarku. Bu Rika
menatapku dengan penuh iba, “Ya Allah Neng Devina, gak apa-apa Neng, Ibu senang
bisa bantu Neng Devina. Maaf Ibu ga bisa bantu banyak ya, kalau ada apa-apa
kerumah aja ya Neng” jawab Bu Rika. Aku mencium tangan Bu Rika dan lekas
kembali ke rumah.
***
Kepala
ku masih sakit, tubuhku memar dan lebam dimana-mana, bekas cekikan Ibu juga
masih terlihat, bahkan kukunya yang panjang membuat leherku lecet. Sakit
sekali, tapi hatiku lebih sakit, remuk dan hancur. Dia Ibuku sendiri, tapi
kenapa jahat sekali padaku. Kenapa setega ini? Aku sungguh tidak sanggup ya
Tuhan.
Pemintaanku
sangat sederhana. Aku hanya ingin dicintai dengan benar oleh Ibu. Aku juga
ingin main bersama Ibu, curhat dengan benar kepada Ibu. Menceritakan
kegelisahanku sebagai remaja, Ibu ada
yang suka padaku di sekolah dan aku juga sepertinya suka dengan dia. Apa
aku tidak bisa begitu dengan Ibu? Atau sekedar membagi mimpi dan cita-citaku?
Apa tidak bisa barang sekali saja.
Air
mataku mengalir dengan deras, kepalaku sakit sekali, nafasku mulai sesak. Aku
tertidur lelap.
Dalam
tidurku, aku melihat diriku dikelilingi banyak orang. Semua orang menangis,
tapi aku hanya diam saja. Ku lihat Zakir menangis paling kencang, Rara juga,
sedangkan Syafira mencoba menenangkan keduanya sambil menahan sedihnya sendiri.
Aku lihat Ibu, duduk disofa tidak berdaya, duduk dengan tatapan mata yang
kosong. Ada Bu Rika juga, beberapa tetangga yang lainnya. Mereka datang karena
Zakir menagis meronta-ronta hingga terdengar oleh para tetangga. Aku hanya diam
disana. Tidak berkutik apa-apa.
Tak
lama polisi datang, membawa Ibu, Ibu juga pasrah saja. Dengan tatapan kosong
dan tubuh lemas Ibu dibawa oleh polisi, dua orang yang membawa Ibu.
Aku
juga melihat Rio, cinta yang mulai tumbuh dihatiku. Rio menangis tersedu-sedu,
teman-temanku mencoba menenangkan Rio. Mereka semua menangis seolah-olah aku
akan meninggalkan mereka semua.
“Devina
Nadia?” suara syahdu terdengar memanggilku.
“Iya”
jawabku. Aku melihat sekitar namun tidak ada seorang pun. Aku mencarinya lagi
dengan teliti.
“Mari
ikut saya, tempatmu bukan disini” ujarnya. Kulihat seseroang menggunakan
pakaian putih dan bercahaya mengulurkan tangannya kepadaku.
“Yang
sedang terbaring disana adalah jasadmu”
“…” Aku
tertegun. Jadi, aku sudah tiada.
“Kamu
meninggal semalam.” Jelasnya lagi padaku.
“Bukankah
aku masih terlalu muda untuk mati”
“Kematian
tidak mengenal usia, tidak mengenal rupa. Tuhan jauh lebih merindukanmu. Jadi,
sudah saatnya kamu kembali kepangkuan-Nya”
“…” aku
tidak bergeming. Begitu banyak hal yang ingin aku lakukan di dunia.
“Apa
aku, bisa mendapatkan cinta dikehidupan yang lain?”
“Iya,
tentu saja. Kamu anak baik, akan ditempatkan oleh Tuhan ditempat yang baik”
“Bisa
merasakan cinta juga?”
“Iya, pasti,
akan banyak cinta dan kasih sayang ditempatmu nanti”
Aku
menggenggam tangannya, menuju cahaya ketempat ia akan membawaku. Aku sedih
harus berpisah dengan keluargaku, dengan Ibu, adik-adikku, dan juga
teman-temanku. Tapi, katanya mati adalah portal untuk menuju kehidupan yang
lain. Menuju hidup yang lebih abadi. Aku berangkat duluan ya, Ibu, Syafira,
Rara, Zakir, teman-teman semuanya, dan juga kamu, Rio.
0 Response to "CERPEN : Permintaan Yang Sederhana"
Post a Comment