“PROBLEMATIKA KLASIK MAHASISWA”



Waktu memburumu!
Mengacungkan pisau pada nadimu!
Waktu mengejarmu!
Ada apa dengan larimu?
Mengapa tak kau biarkan perpacu?
Apa kau mulai jemu?

Waktu berlari pesat!
Ia hilang dengan singkat
Kanvasmu masih saja pucat
Tugasmu terus meningkat
Harusnya bisa kau sikat!

Waktu mulai berkecamuk
Itu salahmu, membiarkannya menunggu hingga busuk
Itu masalahmu, mengabaikannya hingga bertumpuk
Itu masih salahmu, akan begitu saja hingga kau lapuk

Waktu mulai..
Ah!
Ia semakin cepat, tak bisa kau sulap

***
Secangkir kopi kusandingkan di sebelah tumpukan agenda yang harus terselesaikan dengan segera, “Amanah tak pernah salah pundak teman” ujarnya ketika kembali menyuguhkan estafet kebaikan padaku tempo lalu. “Benarkah tak salah pundak? Lalu kenapa aku merasa tak maksimal dengan berbagai amanah yang aku jalani? Apa yang salah?” ujarku kembali sambil menatap kesal tumpukan agenda itu. Sengaja bulan lalu kulepas job mengajar di salah sebuah bimbel demi memfokuskan diri dalam mengelola organisasi di kampus. Tak hayal, beberapa minggu kemudian tawaran untuk kembali terjun ke sekolah di suguhkan kepadaku, “Demi adik-adik kita kawan, siapa lagi kalau bukan kita yang melanjutkannya?” aku kembali terhenyut. “Untuk generasi mendatang, ya untuk mereka” gumamku dalam hati. Bismillah, kembali kaki ini melangkah.

***
Pernahkah anda merasakan hal seperti di atas? Cuplikan diatas menggambarkan sedikit realita yang kebanyakan di hadapi oleh sejumlah kaula muda. Khususnya mereka yang bergelut dalam dunia aktivis. Di kampus menjadi Presiden BEM belum lagi harus tetap optimal dalam masalah akademik, di luar kampus memegang amanah A, mengajar di tempat B, ikut forum C dan berbisnis D serta mengerjakan aktivitas lainnya. Semakin dewasa usia seseorang maka semakin dekat pula ia untuk mencari jati diri. Beberapa orang mungkin terang-terangan menolak dan malas dengan amanah yang di berikan.  Merasa kapasitas di pundaknya sudah cukup dan tak mau berlatih lagi untuk menerima kapasitas yang lebih. Merasa waktunya sudah benar-benar habis untuk kesibukannya sendiri.
Ada titik permasalahan yang bisa ditarik disini. Pertama adalah manajemen waktu dan yang kedua adalah manajemen personal. Saya sangat tertarik dengan kisah Muhammad Al-Fatih yang sejak kecil sudah mampu menghatamkan al-Qur’an dan menguasai 8 buah bahasa di usia yang begitu muda dan mampu menaklukan Konstantinopel pada usia 23 tahun. Kemudian, pencapaian-pencapaian ulama terdahulu seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyyah, Abu Yusuf yang mampu membuat kitab-kitab fenomenal sebagai pedoman bagi ekonom Islam pada masa klasik hingga kontemporer. Padahal amanah mereka kala itu jauh lebih besar dan lebih berat. Namun mereka, mampu menyelesaikan berbagai macam karya tersebut dengan maksimal. Salah satu kuncinya, mereka berkomitmen dengan apa yang mereka kerjakan dan melatih diri untuk mengontrol waktu yang diberikan.
Sejak dulu sampai sekarang, waktu di dunia tidak pernah berubah. Jumlahnya tetap sebanyak 24 jam. Waktu dapat bermanfaat dan produktif tergantung dari siapa yang mengelola. Kelemahan seorang mahasiswa terletak pada manajemen waktu yang buruk serta seringkali kalah dalam memanajemen diri sendiri (manajemen SDM).
Jika kita menilik dalam sebuah Buku Ekonomi Islam yang diterbitkan oleh Rajawali Pers. Pembagian waktu dalam Islam di klasifikasikan menjadi 3, yaitu waktu untuk bekerja (menghasilkan uang, menimba ilmu, dsb), waktu untuk kegiatan sosial (membantu orang, ikut organisasi, hal yang sifatnya sosial) dan yang ketiga waktu untuk beribadah (shalat, mengaji, kegiatan spiritual).
Hal pertama yang bisa dibiasakan adalah melatih diri untuk tidur lebih awal dan bangun lebih awal. Saya mencoba membiasakan diri untuk tidur diawal waktu agar bisa bangun lebih awal dan melaksanakan tahajud kemudian melanjutkan aktivitas yang harusnya saya lakukan semalam. Awalnya, memang terasa sangat sulit. Sulit sekali, tapi saya yakin jika hal ini sudah berjalan dan menjadi kebiasaan tentunya akan menjadi habbit yang baik. Kuncinya, practice and repetition.
Hal kedua, list kegiatan apa saja yang harus dilakukan. Biasakan untuk mencatat, agar tak lupa dengan tugas yang diberikan. Jika kita tahu pekerjaan yang harus dilakukan tidaklah sedikit. Maka, belajarlah untuk menyelesaikannya secara kredit. Lawan kebiasaan hati untuk menunda pekerjaan. Sulit? Memang tak mudah menciptakan kebiasaan baik. Kuncinya sekali lagi, practice and repetition.
Hal ketiga, biasakan untuk shalat tepat waktu. Jika tak ada penundaan dalam panggilan Tuhan maka akan lebih mudah tepat waktu dalam mengerjakan kegiatan lainnya. Shalat mengajarkan umatnya untuk tepat waktu, hal ini tercermin dalam pembagian waktu shalat, yakni shubuh, dzhur, ashar, maghrib dan isya. Mengajarkan pula umatnya untuk tertib atau teratur dalam mengerjakan sesuatu. Hal itu tersirat dalam gerakan shalat yang dilakukan secara teratur. Bila seorang hamba mampu memaknai hakikat shalat, maka seorang hamba akan mampu mengelola waktu dengan baik sehingga pengelolaan waktu tersebut bisa melahirkan hasil yang maksimal dalam setiap bidang yang sedang dijalankan.
Memang tak mudah untuk melakukan hal tersebut agar menjadi habit. Namun, practice and repetition yang dilakukan terus-menerus akan mampu melahirkan habit yang diinginkan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "“PROBLEMATIKA KLASIK MAHASISWA”"

Post a Comment