Hari Kesembilan Puluh Sembilan
Hari ke Sembilan
Puluh
Senyum manisnya seperti semilir angin yang bertiup
sepoy-sepoy di tengah gurun pasir. Manis, senyum pertama yang membuat hidup
kembali hati yang telah lama mati.
Meisya.
Aku pernah sekali, hanya sekali melihatnya tersenyum
dan ia lebih cantik dengan senyum yang terlukis di wajahnya. Sejak itu ku
rasakan dentum jantungku berdetak lebih cepat. Aku ingin setiap hari melihat
senyumnya merekah. Ketika aku bangun dari tidur bahkan ketika aku ingin memejamkan
mata. Aku ingin jemarinya yang mengisi sela-sela jemariku untuk hari-hari
berikutnya sampai detik dimana nafasku habis.
Terhitung dengan hari ini, sudah sembilan puluh hari
aku mengamatinya, di hari kesembilan puluh sembilan nanti, apabila ombak ini
terus berdesir aku berniat untuk melamarnya. Sampai detik dimana aku berdiri,
aku hanya mampu melihatnya dari bangku pengunjung, seperti detik ini.
Sudah beberapa kali bola mata kami saling bertautan,
dengan percaya diri aku tersenyum
padanya, berharap ia melakukan hal yang sama.
Namun, senyum yang kunantikan tak
pernah kunjung hadir di goresan wajahnya.
Dingin, itu aura yang berhembus dari sisi tubuhnya. Dia
tak pernah tersenyum meski pandangan kami bertemu pada satu titik yang sama.
Dia juga tidak pernah menoleh ke arahku ketika aku menyodorkan buku untuk ku
pinjam. Dia gadis penjaga perpustakaan yang misterius.
“Hei, sendirian aja!” sapaku padanya. Ia nampak asyik bermain dengan laptop di hadapannya,
sedangkan aku masih berdiri menunggu balasan.
“HEI!” sapa ku lebih keras, ia hanya mengernyitkan alis. Melirikku dengan bola
matanya yang tajam.
“Maaf anda bicara dengan siapa yah?” jawabnya dengan polos.
“Ya sama kamu lah!” ujarku sedikit kesal.
“Oh, di sini gak ada yang namanya Hei, aku punya nama Mas” jawabnya
lagi dengan santai. Masih dengan mimik
wajah yang sama.
“Okey, kenalan deh. Namanya siapa?” tanyaku
pura-pura tak tahu.
“Tuh liat aja di situ” dia menunjuk papan nama penjaga di
atas meja.
“Meisya?” tanya ku memastikan, ia mengangguk mengiyakan.
“Aku Habsy” kataku seraya menlontarkan senyum. Ia
masih bertahan dengan reaksi sebelum-sebelumnya, tak membalas dengan senyum.
“Oh” jawabnya sambil
mengangguk. Ini hari ke sembilan puluh dan aku belum mampu menabur benih di
hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa menerima lamaranku kelak. Sikap dinginnya
membuat langkahku maju mundur.
“Duluan ya Sya” Aku menyudahi pembicaraan, ku
tinggalkan ia tanpa menyisakan sepatah kata.
Percakapan kami selalu berakhir seperti ini.
###
Hari ke Sembilan
puluh Satu
Kicauan burung mewarnai sunyi pagi ini. Ku
langkahkan kaki menuju tempat pemukiman segala populasi buku. Dimulai dari buku
enslikopedia sampai buku imajinatif bisa ku temukan disana. Tempat itu telah
berubah fungsi dari tempat membaca menjadi rumah kedua di mana dapat kutemui
sang ratu duduk di singgasanya yang agung. Ku lihat parasnya yang ayu dari
pelipir pintu perpustakaan, rambut lurusnya menjuntai melebihi bahu. Ia terlihat
anggun dengan dress biru polkadot yang dikenakannya.
“Pagi Meisya!” Ku
lihat seorang
pria menghampiri
Meisya di singgasanya.
“Pagi Ka!” Jawab Meisya
bersemangat. Aura wajahnya seketika berubah, kulihat bola matanya
berbinar-binar. Semakin berbinar-binar ketika pria di hadapannya merekahkan
senyum padanya.
Aku sesak melihatnya, sesaknya berubah menjadi sakit
ketika Meisya pun membalas senyum pria
itu.
“Ada apa kak Akbar? Lama
gak ketemu”
Meisya membuka percakapan.
“Iya lama gak ketemu yah” jawabnya. Bola mata
mereka saling bertautan, lekat dan penuh rasa.
Wajah Meisya
memerah, ia
nampak salah tingkah.
“Nih, kakak Cuma mau kasih ini sama Meisya” pria
bernama Akbar itu memberinya sebuah kotak,
entah apa isinya. Wajah Meisya semakin berseri dan berbinar-binar. Membuatku bertanya-tanya ada apa sebenarnya diantara
mereka berdua.
Delapan hari setelah hari
ini ingin ku putusnya untuk melamarnya, namun aku putus harapan. Kejadian pagi ini membuatku berpikir
ulang tentang keinginanku. Meisya
sepertinya sudah memiliki pilihan sendiri dan mustahil bagiku untuk membuatnya
jatuh cinta dalam waktu delapan hari. Tentang getaran dan sesak itu, ia tak
perlu tahu dan tak ada yang perlu tahu.
Hari ke Sembilan puluh
dua
Ngiiiik
Pintu
perpustakaan terbuka. Sepi, tak seperti pagi pada
umumnya. Aku berdiri di tempat peminjaman buku. Ku intip tempat Meisya yang
masih kosong. Hanya ada beberapa pengunjung di sudut ruangan. Aku mencari beberapa
buku dongeng di rak paling pojok, koleksi tentang cerita rakyat dan beberapa
dongeng sangat sulit di temukan di perpustakaan ini.
Diantara sela sela rak buku yang
berbaris rapih, ku lihat Meisya dengan sebuah buku di tangannya, ia nampak
tersihir oleh lembaran-lembaran cerita di buku itu. Ku hampiri Meisya yang juga
tak sadar dengan derap
langkahku.
“Meisya!” ia terkejut mendengar panggilanku.
“Aish! Ngagetin aja!” ujarnya kesal.
Meisya menutup buku dalam
genggamannya, “Baca apa?” tanyaku berbisik, “Mau tau aja!” celetuknya masih
dengan nada kesal. Ku lihat sampul depan di muka bukunya. Kisah Seribu Satu Malam. Buku setebal telunjuk yang ku tamatkan
dalam waktu lima hari.
“Oh,
aku udah pernah baca buku itu” kataku sambil menunjuk buku dalam dekapannya. Ia
menatapku dengan antusias “Itu kumpulan cerita dongeng di kawasan Timur”
tambahku lagi. Meisya masih diam, namun matanya seperti menemukan titik
kesamaan antara kami.
“Kamu
suka cerita dongeng?” tanyaku padanya, ia menatap mataku dengan malu.
Sekejap
pipinya memerah “Aku punya banyak di rumah” tambahku lagi.
“Kamu
boleh pinjam kalo mau” tawarku
padanya.
“Boleh?”
tanyanya dengan malu-malu.
“Iya,
boleh pinjam” jawabku memastikan.
Ia mengangguk dengan senyum yang tertahan.
“Gak nyangka yah?” tanyaku padanya.
“Gak
nyangka kenapa?” tanyanya dengan heran.
“Ya,
gak nyangka aja. Perempuan yang nyaris jarang senyum seperti kamu suka cerita
fiktif yang kebanyakan di kisahnya mengandung banyak hal yang gak logis”
ujarku.
“Kata-kata kamu barusan, mirip seperti
yang ka Akbar bilang” katanya.
“Ka Akbar itu siapa?” tanyaku.
Meisya mengangkat jemarinya, ku lihat sebuah cincin bersemayam di jari
manisnya,
“Dia tunangan aku” ujar Meisya
membuatku termangu.
Perlahan
getaran yang kurasa berubah jadi sesak. Lagi.
###
Hari
ke Sembilan puluh tiga
Meisya sangat tertarik
dengan buku-buku dongeng milikku. Ku pinjamkan ia beberapa koleksi dongeng
kesukaanku. Entah mengapa percakapan kemarin mencairkan ruang dingin diantara
kami.
Di
hari libur seperti ini Meisya biasa menghabiskan minggu pagi dengan jogging di alun-alun
Kota. Aku mengunggunya di pinggir alun-alun. Udara masih terasa begitu sejuk di
kulit, banyak pedagang kaki lima, keluarga, anak-anak sekolah maupun remaja
lainnya yang asyik mengitari alun-alun.
Kucari
sosok Meisya diantara kerumunan pelari pagi. Lapangan yang cukup luas dan
banyaknya orang membuatku sulit menemukannya, aku juga lupa untuk meminta nomor
teleponnya. Di tambah dengan minus mataku yang membuat penglihatan semakin
kabur.
“Habsy!” terdengar suara
memanggilku, entah dari arah mana. Kucari dimana sumber suara berasal.
“Hei! Aku disini!” seorang perempuan
melambaikan tangan padaku. Tak begitu jelas kulihat, yang aku tahu suara itu
seperti suara Meisya. Wanita itu semakin mendekat kearahku.
“Habsy, kamu gak liat aku ya?”
tanyanya begitu tiba di hadapanku.
“Maaf, mataku minus. Mungkin minusnya sudah bertambah, karena aku jarang pakai
kacamana sekarang” jelasku. Ku sodorkan buku-buku dongeng yang ia pesan
kemarin, “Nih! Buku-buku dongeng.
Ada cerita dongeng dalam negeri maupun luar negeri. Lengkap!”
“Wah! Makasih banyak ya Habsy!”
ujarnya, Senyumnya kembali merekah ketika kumpulan dongeng itu berada
ditangannya.
“Kamu
sendirian aja Sya?” tanyaku. “Iya” Meisya tersenyum mengiyakan. “Gak sama kak
Akbar?” tanyaku ingin tahu.
“Gak,
kak Akbar lagi sibuk akhir-akhir ini. Dia juga sulit untuk dihubungi” jawabnya,
ku tangkap raut wajah kecewa ketika kusebut nama Akbar.
“Kamu sudah bertunangan dengan kak
Akbar, kapan akan menikah?” tanyaku lagi. Meisya terdiam sejenak, ia berusaha
melengkungkan senyum “Aku gak tau Habsy, kak Akbar semakin sulit dihubungi
akhir-akhir ini. Aku hanya yakin ia akan kembali” jawabnya lagi.
Kriiing..
kriiing..
Tiba-tiba suara handphone berdering,
suaranya berasal dari saku Meisya. “Eh sebentar ya” Meisya pergi menjauh, ia
mengangkat telepon entah dari siapa di ujung sana. Meisya terlihat bahagia, ia
menepi kesisi lapangan yang cukup jauh dari keramaian pengunjung, paling tidak
cukup jauh dari pendengaranku. Ku amati gerak-geriknya, ia terlihat sumringah
tiap membalas pembicaraan dari seseorang di ujung telepon sana. Mungkinkah itu telepon dari ka Akbar?
Tanyaku sendiri.
Tak lama Meisya mengakhiri
pembicaraannya dengan seseorang di ujung telepon itu, lalu ia berlari kecil
menghampiri posisiku kini.
“Kak Akbar telepon!” serunya. Senyum
senang itu masih membekas di parasnya yang elok, pipinya merah merona. Aku tak
mengerti harus senang atau kah sedih, sebab senyum Meisya kini membuatku hampir
menangis.
“Terus? Apa katanya?” jawabku
mencoba simpati, “Dia mau ketemu aku” ujarnya dengan penuh semangat, “Kapan?”
tanyaku lagi, “Besok sore” jawabnya lekas, aku mengangguk, kupaksakan untuk
tersenyum di atas kebahagiaannya, “Selamat yah, aku turut senang” ujarku.
“Kak Akbar bilang aku gak boleh
sendiri, kalau bisa bawa teman, kamu mau ikut besok? Sekaligus aku kenalin sama
kak Akbar” ajaknya.
“….” Aku mengangguk, sakit.
###
Hari
ke Sembilan puluh Empat
Matahari hampir menjelang pulang
keperistirahatan. Aku sudah siap untuk melangkahkan kaki pergi. Kuputuskan
untuk menemani Meisya di café yang telah ditentukan kemarin, sudah dari semalam
ku coba untuk menabahkan hati.
Cerita
dalam hidup ini tidak seperti cerita-cerita dalam dongeng. Pun aku bukan Ali
Baba yang mendadak menjadi kaya raya karena harta temuan di dalam gua, kemudian
mampu meminang Yasmine sang Puteri Raja.
Ini
hanya kisah cinta sederhanaku dalam sudut paling sunyi. Cinta yang tumbuh dalam
kebisuan dan lembar paling kosong yang tak sengaja Meisya torehkan. Aku mencintai dia, karena itu kurelakan ia
bersama yang ia cintai dan mencintainya. Batinku.
###
Meisya
sudah dengan wajah merah padam saat kutemui di café yang kami janjikan, ia tak
mengatakan apapun. Hal itu membuatku cemas dan bertanya-tanya dalam hati. Apa yang telah terjadi? Kulihat Akbar
dan wanita disebelahnya duduk dihadapan kami. Aku terlambat datang, tak tahu
apa yang terjadi pada Meisya. Masih dalam suasana hening.
“Maafkan
Kakak ya Sya” ujar Akbar memecah keheningan, “Ini diluar kuasa kakak ataupun
kamu Sya. Ini permintaan Mamah” tambahnya lagi.
Aku
mencoba menebak apa yang telah terjadi. Kulihat cincin yang sama melingkar di
jemari Akbar dan wanita disampingnya. Meisya berdiri dari tempat duduknya, “Semoga
kakak bahagia” ujarnya, ia mengait tas yang tergeletak diatas meja. Lalu pergi
berlalu, kususul Meisya yang hampir jauh. Ada
apa sebenarnya? Aku masih bertanya-tanya.
###
Kukejar
Meisya yang berlari kecil di depan, aku menarik lengannya, “Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?” rintik-rintik
airmata jatuh dipipinya.
“Kamu lihat wanita disampingnya?” tanyanya,
aku mengangguk pelan.
“Itu tunangannya, tunangan kak Akbar dan
cincin yang kukenakan ini udah gak ada artinya lagi” Meisya melepas cincin
pemberian Akbar dari jemarinya, ia buang jauh ke jalan di seberang kami.
“Aku gak nyangka kak Akbar setega
ini sama aku!”
Aku
menatapnya lekat, lebih dalam. Tak kuasa
melihat gadis paling ayu dalam hidupku menangis. Tapi, siapalah aku. Hanya pria
pengecut yang mengidamkannya dalam diam.
0 Response to "Hari Kesembilan Puluh Sembilan"
Post a Comment