Tuhan Tampar Aku




Langit Pucat Pasi, Hati pun Bergemuruh

“Tuhan mengagumi remaja yang tidak mengikuti hawa nafsu serta menyeleweng dari jalan yang benar”, sepenggal riwayat itu masih melekat erat di benak Najwa. Gadis beriris mata cokelat itu melempar jauh pandangannya kelangit. Entah apa yang dicarinya, sesekali dia mengaduh dan menghentakkan kaki. Seperti habis melakukan kesalahan besar, “Kenapa Najwa? Ada yang mengganggu pikiranmu kah?” tanpa disadari Bu Farida sudah duduk manis disampingnya, “Loh ibu sejak kapan disini?” tanyanya heran bercampur rasa kaget, “Sejak aduhan-mu memancing hati Ibu untuk kemari” Najwa tertegun, ternyata ada yang memperhatikan tingkah laku anehnya sedari tadi. Najwa menatap  Bu Farida, “Tak apa Bu, saya hanya bosan” ujarnya mencoba meyakinkan. Bu Farida tampaknya mengerti, ia hanya mengelus pundak Najwa lalu beranjak meninggalkannya. Sore itu, langit mulai pucat pasi tak lama rengekannya semakin jelas terdengar. Najwa tidak berkutik sedikit pun dari persinggahannya, ia masih terpaku dalam lamunan. Lamunan yang membuatnya makin tersudut, “Ya Rabb, ampuni aku” rintihnya.


Dalam dekap malam, Najwa masih khusyuk dalam sujudnya. Mencium aroma sajadah lebih lama dari biasanya. Ia hanya gadis biasa yang baru melepas sweet seventeen. Gadis yang tak lagi lugu soal virus merah jambu.  Ia sadar ia mulai jatuh dalam kesemuan yang memesona itu. Kebodohan Najwa   adalah membiarkan hatinya terbuka hingga siapa saja bisa masuk dengan seenaknya dan keluar dengan menyisakan luka. Kelalaian Najwa karena cinta ialah mencampakkan tugas akademiknya hingga ia harus menyaci maki dirinya diakhir waktu. Dan kefatalan yang ia lakukan ialah menjauhnya diri dari Sang Khaliq, karena waktunya habis untuk menata serpihan yang hilang satu persatu. Bahkan ia hampir lupa bagaimana menyapa Tuhan-nya. 

Nyanyian alam mengiringi kesunyian gulita. Najwa masih bersimpuh menghadap Tuhan-nya, kakinya mulai keram, tapi ia tak peduli. Ia hanya ingin mengadu lebih lama dalam dekapan Illahi. Najwa teringat bahwa ia bukan berasal dari keluarga  Islami, ia dididik dengan cara orang terdahulu, mengikuti tradisi nenek moyang. Namun, keteguhan hatinya untuk mempelajari Islam sangat tinggi. Ia datang jauh-jauh ke Masjid besar di tengah Kota untuk mengikuti pengajian. Ketika tak ada uang sepeser pun, ia berjalan kaki. Maklum ia tak punya kendaraan apa-apa, bahkan sepeda pun tak punya. Mengingat hal itu ia kembali merintih, bulir-bulir airmata yang makin berderai tak mampu mewakilkan kekecewaan dirinya. Kehilangan jati diri,  jejak penerang hidup dan makin tenggelam dalam gelap itulah yang ia rasakan saat ini.  Sejak seorang pemuda dengan jitu membidik hatinya. Tak pernah ia duga pondasinya runtuh seketika dengan satu tancapan panah.

“Ya Rabb...
Kepada siapa lagi aku harus mengadu, sedangkan aku tak kuasa meraba keberadaan-Mu. Bukankah Engkau lebih dekat dari urat nadiku, lantas mengapa aku merasa jauh dari-Mu. Ampuni aku ya Rabb. Ampuni aku atas pandangan yang tak terjaga, membiarkan tatapan kami bertemu pada titik yang sama hingga pesonanya melebur menjadi satu. Ampuni aku ya Rabb, Engkau boleh tampar aku lebih keras dari ini agar aku lebih sadar betapa terlenanya aku.

Ya Rabb..
 Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu cinta-Mu, juga cinta orang-orang yang mencintai-Mu, serta amalan yang mendekatkanku kepada cinta-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu, lezatnya memandang wajah-Mu dan kerinduan bertemu dengan-Mu.”


Hari demi hari berganti. Najwa mulai pintar menjaga hati, segala hal yang mengganggu hatinya ia ceritakan pada sang murabbi. Bukan cinta hakiki namanya ketika kita mencintai seseorang lantas mengurangi cinta kepada Allah. Bukan cinta namanya ketika mengatas namakan cinta karena Allah hanya sebagai pelindung untuk melakukan kemaksiatan, “Berilah cintamu hanya untuk Allah , biar Allah pula yang memberikan cinta terbaik untukmu kelak” begitulah pesan salah satu sahabat karib Najwa, ketika ia bercerita tentang kegundahan hatinya dulu. Amalan sunnah pun rutin ia jalani, cintanya pada Illahi justru membawanya pada ketenangan batin yang selama ini kalut dalam cinta butanya. Seperti kata Imam Nawawi “Aku mencintaimu karena agama yang ada pada dirimu, bila agama itu hilang dari dirimu. Hilang pula rasa cintaku padamu”.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tuhan Tampar Aku"

Post a Comment