CERPEN : KAPAL YANG KARAM #PART 2
Sebulan berlalu, Aku masih berdiri dengan keteguhan dan
harapan yang sama, Aku yakin Mas Hanif kembali seperti katanya sebelum pergi.
“Kamu ga telepon Mas Hanif saja Mba?” Dewi membuyarkan
lamunanku.
“Eh, kamu toh Wi, mengagetkan saja” Aku menyeruput teh yang
ada di depanku.
“Jangan mengalihkan pembicaraan Mba, ditelepon suamimu itu”
Dewi menyerobot segelas teh yang ada dalam genggamanku.
“Tidak diangkat” jawabku pelan.
“Kalau begitu, langkah apa yang mau kamu ambil? Bertahan?”
Dewi menaruh segelas teh tadi.
Aku menggelengkan kepala, “Dewi, di relung hati terdalam aku
masih berharap kalau bayi yang di kandung Anita bukanlah hasil perbuatan Mas
Hanif, aku masih berharap kalau Mas Hanif di jebak. Aku masih berharap kalau
semua ini tidak benar”, Dewi menghela nafas ia mencoba memahami diriku yang
masih mencintai Mas Hanif.
Dewi adalah sahabat baikku. Sengaja menginap kesini setelah
kuberitahu masalah yang sedang kuhadapi. Tanpa ba bi bu dia langsung meluncur
kesini, menempuh perjalanan dua jam lamanya dengan motor matic putih kesayangan
miliknya. Meski jauh lebih muda dua tahun dariku, tapi Dewi memiliki pemikiran
yang dewasa dan sikap yang tegas.
“Mba coba pikirkan baik-baik, kalau memang bukan Mas Hanif,
apa patut dia tidak memberimu kabar sama sekali? Coba Mba renungkan” Dewi
berlalu masuk ke rumah, meninggalkan aku di teras depan dengan secangkir teh
yang tinggal satu tegukkan.
Perkataan Dewi terngiang di pikiranku. Namun, rasa tak ingin
percaya dan harapanku terlalu besar, saking besarnya hingga memecah akal
sehatku. Saat ini, aku hanya ingin Mas Hanif kembali dan kami menjalani
hari-hari seperti dulu lagi.
***
Waktu terus berjalan, daun-daun yang berguguran kini tumbuh
kembali menjadi pucuk-pucuk daun berwarna hijau yang menyegarkan mata. Bunyi
rintik hujan di pagi hari mengingatkanku pada Mas Hanif. Saat musim hujan
begini Mas Hanif akan meringkuh di kasur dengan selimut tebalnya, ia akan
menahanku beberapa menit bersamanya di dalam selimut.
“Temenin aku dulu ya sayang, aku masih ngantuk banget”
pintanya dengan manja.
“Yaudah, lima menit aja ya. Kamu harus berangkat kerja
sayang, gak boleh terlambat” Aku mengelus-elus kepalanya dengan sayang.
“Aku mau di rumah aja sama kamu” Mas Hanif memelukku erat, aku
mencium kepala Mas Hanif. Aku selalu suka dengan aroma khas rambutnya, parfum
yang ia kenakan, bahkan bau keringatnya. Ah, namanya juga jatuh cinta, apa yang
melekat pada dirinya aku suka.
Setelah menyiapkan sarapan, Mas Hanif pergi ke kantor seperti
biasa. Selain tidak pernah terlambat berangkat ke kantor, Mas Hanif juga selalu
pulang tepat waktu. Berusaha agar tidak lembur, mengerjakan pekerjaan kantor
dengan tepat waktu, kalaupun belum selesai Mas Hanif lebih memilih membawa
pekerjaannya pulang dan mengerjakannya bersamaku daripada menyelesaikannya di
kantor. Biasanya aku menemani Mas Hanif hingga pekerjaannya selesai.
Hingga suatu hari aku sadar, Mas Hanif mulai berubah. Tak
lagi meringkuh di kasur saat hujan melanda di pagi hari. Selalu terburu-buru
untuk berangkat ke kantor.
“Aku ada rapat pagi ini sayang”
“Aku sedang sibuk”
“Aku lelah, ingin tidur lebih awal”
Begitu ujarnya setiap aku bertanya, setiap aku memasang wajah
curiga.
Yang paling meresahkan hatiku, ia tak lagi memberikan
kejutan-kejutan kecil romiantis seperti biasanya. Seperti meyubit perut ku,
mulai jarang mengecup keningku, tidak lagi tiba-tiba memelukku di dapur saat
sedang menyiapkan makanan. Hari demi hari tak lagi kutemui sosok Mas Hanif yang
hangat dan penyayang. Walau tidak berubah drastis, aku merasakan cinta yang
perlahan luntur dan kapal yang melambat.
Ya, saat itulah orang-orang mulai menaruh simpatik pada
kehidupan rumah tanggaku. Aku yang tidak tahu apa-apa, menjadi tahu sebab
begitu banyak mata-mata Tuhan di luar sana yang datang kepadaku mengantarkan
pesan yang menyesakkan dada tanpa kuminta.
“Maaf Mba Tantik, bukan bermaksud ikut campur” ujar tukang
sayur yang selalu mampir di depan rumah.
“Tapi, kamu wajib curiga dengan suamimu” bisiknya dengan
hati-hati khawatir ada telinga lain yang mendengar.
Itulah pesan tukang sayur yang sering mampir ke rumah.
Katanya, suamiku pernah membawa seorang wanita ke dalam rumah. Saat itu aku tidak
ada, mungkin hari itu aku sedang berkunjung ke rumah Ibuku.
Ah, pikiranku sangat kacau. Semua memori dan pecahan
teka-teki melintas dipikiranku. Sudah hampir tiga bulan dan tak ada kabar dari
Mas Hanif. Kapalku yang melambat apakah bisa berjalan lagi.
***
Bagai kapal yang kehilangan nahkoda, oleng diterjang badai
kencang. Ya, kapalku oleng. Lalu, aku memilih turun dengan sebuah skoci. Aku
tahu kapalku habis menabrak karang besar dan akan segera karam, tenggelam,
hingga bangkainya menjadi rumah bagi penghuni yang lain. Aku sudah lagi tak
bisa berlayar dengan kapal yang sama. Sebab, kapalku karam ditengah lautan
lepas.
Sepucuk surat kuterima dari seorang pengantar pesan, Pak Pos.
Begitu membuka map berwarna cokelat itu, kudapati sebuah surat yang membuat
kaki dan sekujur tubuhku ambruk, Surat Gugatan Cerai. Selama ini, aku kira
bertahan adalah pilihan yang tepat, tapi ternyata aku salah. Harapanku seperti
bangunan tanpa pondasi, rapuh.
Setelah hari itu, kuputuskan untuk mengikhlaskan Mas Hanif,
mengubur semua kenangan tentangnya. Mungkin memang Mas Hanif bukan jodohku,
hanya tempat belajar sementara yang Tuhan berikan. Lalu, proses persidangan pun
berjalan tanpa hambatan, tak ada pula yang ingin aku pertahankan. Sebab,
mempertahankan sebelah sisi hanya akan membuat aku jauh lebih sakit. Mas Hanif
adalah nahkodaku, imamku, penuntunku. Kini ia memintaku untuk berhenti menjadi
awak kapalnya, mundur sebagai makmumnya. Setahuku seorang prajurit harus
mengikuti semua komando pimpinannya meski harus berkorban nyawa, dan disinilah
aku, berdiri sesuai dengan komando yang ia perintahkan untuk sama-sama
mengakhiri pernikahan kami di meja hijau.
Aku sudah berjanji pada diriku, tidak akan ada lagi airmata
yang keluar. Dan untuk tiap tetes airmata, untuk tiap peluh yang mengalir,
untuk setiap doa yang kulantunkan. Suatu hari nanti Mas Hanif akan membayarnya.
Sebab, yang kutahu Tuhan tak akan tinggal diam melihat hamba-Nya terdzolimi.
Mas Hanif, hingga kisah kita usai, aku masih berdiri disini.
Di ujung janji yang kita buat sehidup semati, aku masih berdiri kokoh hingga
jemarimu satu persatu melepas genggamanku. Aku masih berdiri ditempat yang
sama, pada hati yang sama, berharap kamu menyambut kembali uluran tanganku,
bersama-sama lagi mengarungi lautan yang luas. Tapi sampai hakim mengetuk palu
hingga tiga kali, kamu masih berdiri diseberang.
Hari ini, aku menyaksikan sebuah kapal yang karam, dan itu
adalah kapal layar milikku sendiri.
**
Tamat.
0 Response to "CERPEN : KAPAL YANG KARAM #PART 2"
Post a Comment