CERPEN : KAPAL YANG KARAM #PART 1
gambar from : Google |
Aku menatap jalan di depan rumah, menghitung kendaraan yang berlalu lalang sedari pagi. Dari mulai menyapa pejalan kaki atau hanya sekedar memberi anggukan dan senyum ke pengendara sepeda, mengitung jumlah sepeda motor dan roda empat yang lewat. Aku hanya ingin melalui pagi yang tentram, mendengar kicauan burung, menghirup wangi embun, serta merasakan sentuhan udara di pagi hari.
Sejujurnya, aku sedang mencoba meredam sakit di hati yang
terdalam dengan senyum, juga dengan canda tawa agar perih yang menganga tidak
terasa sakitnya. Wanita mana yang tidak terluka hati saat pria yang setiap
bangun tidur berada disisinya kini malah bangun dan tidur dengan wanita lain. Hati
terlumat-lumat, hancur tidak karuan, pecah yang entah kemana
kepingan-kepingannya.
“Suamimu, kemarin jalan dengan wanita lain”
“Kudengar dia punya istri lagi, apa benar?”
“Maaf ya, kemarin aku ketemu suamimu, kukira yang digandengnya
adalah kamu. Tapi ternyata bukan, jadi aku mengurungkan niat untuk menyapa”
“Tik, suamimu ga pulang lagi hari ini?”
Bertubi-tubi pertanyaan menghantamku, kalau sudah sangat
lelah hati aku tidak menanggapi. Awalnya aku tidak percaya. Kukira wanita yang
ditanya-tanya dan disebut-sebut oleh tetangga dan teman-temanku hanya salah
satu rekan kerjanya. Suamiku sendiri yang bilang belakangan ini ia sibuk.
Banyak kerjaan kantor yang membuatnya terpaksa harus lembur dan pulang larut
bahkan dini hari. Pernah juga tidak pulang. Aku hanya ibu rumah tangga, tidak
banyak tahu pekerjaan kantor seperti apa, selama ini aku percaya dengan
suamiku. Dan keyakinan itulah yang aku pegang.
Namun, hari itu dengan mata kepalaku sendiri, dihadapanku,
tepat didepan kedua bola mataku, wanita itu mencium pria yang seharusnya hanya
boleh aku saja yang menciumnya.
Aku geram sekali, aku mengamuk sejadinya. Kutarik rambut
panjang wanita itu. Suamiku mencoba melerai.
“Aku kecewa!” kuacungkan jari telunjuk ke wajahnya yang tanpa
dosa.
“Kamu menodai sumpah suci kita dihadapan orang tuamu, orang
tuaku, dan dihadapan Tuhan!”
Aku menunjuk-nunjuk wajahnya dengan kesal.
“Dan kamu!” aku berpaling ke arah wanita yang masih kutarik
rambutnya.
“Wanita perusak rumah tangga, kamu itu wabah!”
Ku hempas tubuhnya ke lantai, Ia mengaduh kesakitan namun
hatiku mengaduh lebih kencang.
“Tantik, kamu gak perlu marah-marah seperti ini” Mas Hanif
memegang kedua bahuku,
“Kamu tau berapa banyak pertanyaan yang muncul dari mulut
tetangga karena seringnya kamu berjalan dengan wanita lain?” Aku meninggikan
nada, untuk pertama kalinya.
“Anita itu bukan wanita lain” Mas Hanif membuka suara.
Aku bergeming, kutatap kedua matanya dengan berkaca-kaca. Bukan wanita lain, lalu apa? berbagai
prasangka mengerubungi pikiranku.
“Maaf Mba Tantik, maksud dan kedatangan saya kesini untuk
memberitahu Mba Tantik kalau saya dan suami Mba sudah menikah” sambung wanita
yang ku amuk tadi.
Aku seperti tersambar petir. Detak jantungku tak karuan berdentum,
kenyataan yang sangat menyesakan dada, mencekit setiap kata yang akan tumpah.
“Aku sedang mengandung anaknya Mas Hanif” jelasnya dengan
percaya diri seraya mengelus perut yang memang terlihat membuncit itu.
Aku tatap Mas Hanif dengan penuh amarah dengan penuh
kekecewaan dengan penuh sesal dan juga tanda tanya. Mas Hanif tidak menatapku,
tak berkata satu kata pun. Apa ini tanda kebenaran?
“Benar apa yang wanita ini katakan?!” tanyaku dengen cemburu.
“Sudah empat bulan, sayang” lagi-lagi Mas Hanif tak berani menatapku.
Memori ku kembali pada detik dimana dia mengucap janji akan
selalu setia bersama, mengarungi bahtera rumah tangga bersamaku. Dengan santun
dia meminta restu pada Bapak dan Ibuku. Lalu, hari dimana dia mengecup keningku
saat semua saksi mengatakan sah atas janji suci kami. Seolah semua buyar dan
tinggal kenangan saja.
“Aku kira kamu setia Mas” aku menatap wajah nya dengan sendu
dengan marah yang akhirnya menciptakan luka dan tangis yang mengundang lara.
“Tiik, maafin aku Tik” Mas Hanif memelukku erat, aku
meronta-ronta kupukul dengan lemah tubuhnya. Aku sungguh tak berdaya, tenagaku
terserap habis mendengar kenyataan yang tak ingin ku alami. Aku meraung
sehebat-hebatnya menumpahkan kesal yang sedari tadi kupendam.
“Aku khilaf sayang” Mas Hanif memelukku lebih erat, dia
menangis sesengguhkan.
“Maafkan Mas mu ini” Entah aku tidak bisa merasakan ketulusan
dari air matanya, aku tidak bisa menerima maafnya. Aku tidak bisa, bahkan aku
tidak mau percaya. Jikalau ini mimpi, aku ingin segera terbangun.
“Huaa… a… a… a... aku dosa apa Mas” deraku penuh peluh dan
airmata. Mas Hanif memelukku erat, menenangkanku dengan tangannya yang gemetar
hebat.
“Maafkan Mas” Mas Hanif menyeka air mataku yang terus
mengalir, Ia pun menangis, tapi entah aku tidak menemukan sosok Mas Hanif yang
dulu, Mas Hanif yang tidak pernah berbohong.
“Hua.. a.. a.. a..” sekujur tulangku tak mampu berdiri tegak.
Aku terduduk lemah. Anita hanya diam saja, Aku bisa lihat senyum kemenangan
dari matanya. Rasa benci terhadap Anita memuncak di dadaku.
“Pergi!” ucapku dengan kesal.
“Pergi kamu!” teriakku pada wanita itu.
“Istrinya bukan hanya kamu saja Mba Tantik” ujar Anita tak
tahu malu.
“Kamu merebut apa yang bukan milikmu!”
“Aku tidak ingin melihat wajahmu!” aku bangun, dan
mendorongnya keluar pintu.
“Pergi kamu!” Ku tarik tangannya. Anita memberontak, “Lepas!”
teriaknya.
“Kalau aku pergi, Mas Hanif juga harus pergi!”
Dengan kesal aku menarik Mas Hanif keluar,
“Selesaikan urusanmu dengan wanita ini, kalau kamu masih
ingin terus bersamaku”
Aku menatap Mas Hanif dengan berkaca-kaca, sungguh tak ingin
melepasnya pergi. Tapi, dia yang memilih jalan yang berbeda denganku. Aku tidak
pernah meninggalkan Mas Hanif, dia yang lupa kalau dia punya aku dirumah yang
selalu mendoakan dan mendukungnya. Dia lupa kalau dia punya aku.
“Kalau kamu masih ingin mengimami aku”
Lanjutku lagi, Mas Hanif hanya diam saja. Dia menatapku
dengan sesal yang mendalam dengan air mata yang masih terurai. Aku tidak tahu
apa yang ada dipikirannya. Aku tidak bisa menemukan titik kejujuran dari
matanya.
“Maaf kan aku Tantik” Mas Hanif memelukku dengan erat, lagi.
Aku tidak ingin melepaskanya, sungguh. Dia amat berharga bagiku.
Mas Hanif memegang kedua pipiku, “Aku akan segera kembali”
ujarnya, Ia mengecup keningku. Meninggalkan aku dengan luka yang masih terbuka
lebar. Dengan airmata yang terus mengembang.
Aku harap ini bukanlah yang terakhir aku melihat Mas Hanif,
aku percaya Mas Hanif akan kembali padaku.
Lanjut baca CERPEN : KAPAL YANG KARAM #PART 2
Lanjut baca CERPEN : KAPAL YANG KARAM #PART 2
0 Response to "CERPEN : KAPAL YANG KARAM #PART 1"
Post a Comment