Ifa dan Putera Mahkota dari Kerajaan Alas #ENDING
Tak
lama, kami pun pindah ke kerajaan. Seisi kerajaan mengira aku adalah istri
Putera Mahkota Amad Mude. Ibu menjelaskan pada mereka bahwa aku adalah anak
angkat mereka. Karena, Ibu menemukan aku sebatang kara di hutan. Tak mungkin
mereka berdua bilang bahwa aku terjebak dibuku yang sedang aku baca. Apalagi
menerangkan bahwa aku datang dari masa depan. Mereka hanya akan menanggapku
orang gila.
Akhirnya
Putera Mahkota Amad Mude dan aku pergi untuk mencari Kelapa Gading. Pohon
Kelapa itu ada disebuah pulau yang jauh dari kerajaan. Kami harus melewati
bukit-bukit, memasuki hutan belantara lalu menyeberangi lautan untuk bisa
sampai ke pulau itu.
Ketika
sampai di bukit, kami bertemu dengan raksaka yang sangat besar. Ia membawa
pentungan di tangan kirinya. Ia mencoba untuk memukul kami dengan pentungan
besar itu. Kami berdua loncat kesana kemari menghindari pukulan maut yang ia
berikan. Lalu terjebak di tebing yang tak bisa kami panjat.
“Kami
hanyan ingin kepulau Kelapa Gading. Seseorang di Kerajaan Alas sedang sakit dan
membutuhkan kelapa itu” Putera Mahkota mencoba menjelaskan.
“Kerajaan
Alas? Siapa kau sebenarnya pria kecil?” tanya sang raksaksa.
“Aku
adalah Putera Mahkota Amad Mude”
Wajah
menyeramkan Sang Raksasa seketika berubah, “Kau adalah anak Sang Raja. Ayahmu
pernah menyelamatkan hidupku. Ketika itu, warga Desa berbondong-bondong hendak
membunuhku. Aku tak akan pernah melupakan jasa Ayahmu”
Raksasa
besar itu akhirnya meminta maaf kepada kami. Ia menggendong kami berdua di
pundaknya. Lalu, mengantarkan kami keluar bukit.
“Aku
hanya bisa mengantarmu sampai disini. Di hutan sangat berbahaya, banyak makhluk
halus yang akan mengecoh langkahmu. Kendalikan dirimu, jangan sampai mereka
menguasaimu” Raksaksa menurunkan kami berdua. Di depan kami ada hutan yang
sangat lebat dan gelap. Bulu kudukku merinding di buatnya.
“Ikutilah
jalan setapak ini sampai kalian menemukan cahaya. Ikutilah cahaya itu, ia akan
membantu kalian keluar dari hutan. Berpikir jernihlah, jangan mudah tergoda”
pesan Sang Raksaksa ketika kami hendak memasuki hutan lebat itu.
Pohon-pohon
menjulang tinggi. Diameternya sangat lebar, hawa dinginnya menusuk ke tulang.
Seberkas cahaya kesulitan menyerobot masuk. Sebab, hutan ini begitu lebat,
gelap dan berkabut. Putera Mahkota tampak tenang sekali, sementara wajahku
pucat pasi.
Kami
berjalan tak henti selama berjam-jam. Kakiku terasa sangat pegal, keringat
bercucuran membasahi tubuhku. Kami memutuskan untuk istirahat sebentar.
“Pasti
kau sangat lelah” Putera Mahkota menyuguhkan air untukku. Aku mengangguk lemas,
hanya tersenyum tipis.
“Kita harus bergegas keluar dari hutan sebelum
hari mulai gelap” tuturku. Kami beranjak dari tempat peristirahatan, melanjutkan
kembali perjalanan.
Setelah
beberapa jam berjalan. Kami menemukan persimpangan. Tubuhku terasa berat dan
tidak enak. Aku ingin segera sampai ke pulau Kelapa Gading. Wajahku semakin
pucat dan serasa ingin pingsan.
“Kita
harus melewati jalan yang mana?” Putera Mahkota bertanya padaku. Aku melihat
kekiri, kekanan dan kedepan. Di depan kulihat cahaya putih berpendar. Di
sebelah kiri kulihat dedaunan pohon kelapa tinggi menjulang. Di sebelah kanan
semak-semak belukar mengadang jalan.
“Itu
pohon kelapanya!” seruku. Aku segera berlari ke arah kiri. Tubuhku terasa
sangat berat. Aku ingin segera kembali kemasa depan. Itu pasti pohonnya, gumamku.
“Hei!”
Putera Mahkota menarik lenganku. Aku setengah tak sadar menatapnya.
“Kau
lupa, kita harus mengikuti cahaya? Bukan kesini jalannya!” ia menarikku. Aku
melawannya sekuat tenaga. Ayo itu pohon
kelapanya. Suara ghaib berbisih di telingaku berulang kali.
“Lepas!”
aku menghempaskan tanganku. “Cahaya itu jauh sekali Amad Mude! Bukankah kita
bisa lewat jalan ini agar segera sampai ke Pohon Kelapa Gading?” ia menarik
kembali lenganku.
Ia
memaksaku untuk berbalik arah. Aku melawannya sekuat tenaga, tapi dia lebih
kuat dariku, “Kita harus mengikuti cahaya itu Ifa. Agar kau juga bisa pulang.
Percayalah padaku!” aku memberontak, kupukul wajahnya, ku tendang kakinya, “Aku
ingin segera pulang!” Suara-suara ghaib itu merasukiku.
Itu pohon gadingnya
Ifa.. ayo.. kemari.. kau akan segera pulang...
Ifa.. ayo kemari..
Amad
Mude mengejarku, ia menarik lenganku. Aku sudah sangat lemah, kedua kakiku
terasa layu. “Kuasai dirimu Ifa, jangan goyah. Tutup telingamu, dengarkan saja
aku” Amad Mude berbisik di telingaku. Kedua kakiku tak bisa bergerak. Aku tak
mampu berjalan, ia akhirnya menggendongku.
***
Cuiit... cuiit..
cuuit.. cuiit..
Suara
burung membangunkanku. Kulihat langit sudah biru.
“Akhirnya
kau bangun juga, kita sudah sampai ditepi pantai. Kelapa gading itu terletak di
seberang laut ini” ia menunjuk ke arah pulau yang terlihat kecil di ujung sana.
Amad
Mude menceritakan apa yang terjadi kemarin. Aku sungguh menyesal. Aku juga
melihat kakinya masih lebam bekas ku tendang dan pipinya masih memar karena ku
pukul. Aku sungguh menyesal dan meminta maaf padanya.
Lalu,
kami merakit kapal kayu untuk menyeberangi lautan. Kapal yang kami buat selama
seharian cukup kokoh. Perbekalan untuk di kapal pun sudah kami siapkan. Ketika
sampai ditengah laut. Ombak besar menghantam ujung kapal, kami hampir saja
terguling. Tiba-tiba ada ikan besar yang melompat di atas kapal kami.
Byuuuuuuur
Kapal
kami terhempas menjauhi pulau. Aku dan Amad Mude berpegangan pada badan kapal.
Di atas kami terbang seekor naga besar. Wajahnya setengah mirip buaya,
punggungnya terdapat sisik. Dari mulutnya juga keluar api yang menyala-nyala.
“Siapa
kau anak muda? Sedang apa kalian disini?” naga yang bisa berbicara itu bertanya
pada kami.
“Namaku
Amad Mude, aku hendak pergi ke Pulau itu untuk memetik kelapa gading!” Putera
Mahkota Amad Mude menjawabnya dengan keras agar Naga itu bisa mendengar
suaranya.
“Aku
akan memberi tumpangan pada kalian agar bisa sampai kesana” Sang Naga
menawarkan bantuan pada kami.
Ia
membantu kami menyeberangi lautan yang luas itu. Kami tak membutuhkan waktu
yang lama agar bisa sampai kesana. Sang Naga menurunkan kami di tepi pulau.
“Aku
hanya bisa membantumu sampai disini. Aku sudah dekat dengan kepala gading itu”
“Terima
kasih banyak naga” Ujar Amad Mude.
“Akulah
yang harusnya berterima kasih padamu. Semasa Ayahmu hidup dulu, dia sangat baik
membantu siapa saja. Termasuk kami para Naga, Ayahmu tak pernah menanggap kami
sebagai hewan buas dan mengerikan. Ia menganggap kami sebagai teman”
Kami
melambaikan tangan pada Sang Naga saat ia hendak berpamitan.
“Ayahmu
sangat baik ya Amad Mude. Pasti dia sangat bangga apabila mengetahui apa yang
hari ini kau lakukan” ujarku. Ia hanya membalasnya dengan senyum.
“Kita
harus segera mendapatkan kelapa gading itu” ujarnya.
***
Di
pulau ini banyak sekali pohon kelapa, tapi kami tak tahu yang mana pohon kelapa
gading.
“Kurasa
itu pohonnya” aku menunjuk salah satu pohon kelapa yang tumbuh memisahkan diri
dari pohon lainnya. Kelapanya berwarna kuning ke emas-emasan.
“Baiklah.
Aku akan memetiknya” Putera Mahkota kemudian memanjat pohon itu. Ketika ia
hendak memetik kelapanya, kami mendengar suara tanpa wujud muncul dari balik
pohon itu. Segera Putera Mahkota turun dari sana.
“Siapapun yang memetik kelapa gading milikku.
Dia harus menikah denganku”
Suara
ghaib itu berulang sebanyak tiga kali. Putera Mahkota terlihat bingung dan
sangat cemas. Ia menatapku dengan penuh tanya, berharap mendapat jawaban
dariku.
“Ini
ceritamu, kau yang menentukan. Aku harap kau masih ingat untuk apa kita
berjalan sejauh ini. Melewati bukit dan hampir saja jadi santapan raksaksa
disana. Hampir kalap di hutan, lalu kita hampir saja meregang nyawa di lautan.
Kau harus ingat untuk apa kita berjalan sejauh ini” aku mencoba mengokohkan
kembali tujuan mulia Putera Mahkota.
“Untuk memetik kelapa gading sebagai
obat untuk menyembuhkan istri paman” jawabnya dengan pelan.
Akhirnya Putera Mahkota menyetujui
perjanjian tersebut. Ia memenuhi keinginan sang pemilik pohon gading. Putera
Mahkota segera memetik kelapa gading tersebut. Lalu, muncul seorang wanita
cantik dari balik pohon itu.
“Aku Putri Niwer Gading” ia menyapa
kami berdua.
Putri
Niwer Gading sangat cantik, rambut ikalnya terjulur panjang, bibirnya merah
merona, bola matanya besar dan bercahaya. Di kepalanya terdapat mahkota emas.
Ia tersenyum menyapa ke arah kami.
“Itu
dia calon istrimu” bisikku pada Putera Mahkota Amad Mude, “Apa aku akan hidup
bahagia dengannya?” tanyanya sambil berbisik.
“Seperti
yang kubilang, ini ceritamu Putera Mahkota” balasku. Ia tersenyum menghela
napas.
***
Lalu,
Putera Mahkota Amad Mude dan Putri Niwer Gading mengadakan pernikahan dengan
meriah. Setelah mereka menikah, kami kembali ke kerajaan membawa kelapa gading.
Tentunya Putri Niwer Gading pun ikut serta.
Naga
yang kami temui di lautan mengantarkan kami sampai ke kerajaan. Ibu keluar
menyambut kami. Dengan berlinang airmata Ibu memeluk putera kesayangannya
dengan erat. Ia juga mengecup keningku, memeluk tubuhku sambil mengucap terima
kasih karena telah menemani anak kesayangannya.
Kami
menjelaskan semua kejadian yang kami alami. Termasuk pernikahan Putera Mahkota
dan Puteri Niwer Gading pada ibu.
Paman
telah menunggu kami di dalam kerajaan. Ia sangat terkejut melihat kehadiran
kami. Mungkin ia pikir kami tak akan pernah kembali. Ia langsung buru-buru
mengajak kami masuk ke kamar istrinya.
Wajah
pucat, tubuh kurus terbaring di hadapan kami. Aku yakin itu istrinya yang
sedang sakit. Putera Mahkota segera meminumkan air kelapa gading itu kepada
istri pamannya. Tak lama wajah pucat pasinya berubah lebih cerah.
Hari
demi hari kondisi istri Raja membaik dan akhirnya ia sembuh. Raja yang kini
adalah paman Putra Mahkota begitu terharu dan ia sangat menyesal telah berbuat
jahat kepada keponakannya itu. Akhirnya, ia mengembalikan kembali tahta
kerajaan kepada Putera Mahkota dan Ibunya.
“Kau
akan menjadi Raja yang luar biasa seperti ayahmu” ia meletakkan Mahkota Raja di
kepala Amad Mude. Di hadapan seisi istana kerajaan sang raja meminta maaf
kepada Amad Mude dan Ibunya.
Seisi
istana menitikkan airmata melihat kejadian mengharukan ini. Aku juga tak kuasa
menahan airmata haru.
Brrrrrrr....
Wuuuuuzzzz...
Tiba-tiba
dinding dan lantai istana bergetar hebat. Di tambah dengan suara petir yang
meledak-ledak di luar sana. Tubuhku juga terasa berat, seperti yang kurasakan
saat di perpustaakan waktu itu.
“Amad
Mude... Ibu.. !” seruku. Mereka menghampiriku, aku harap bisa memberikan salam
perpisahan sebelum aku pergi. “Sepertinya aku harus kembali, tubuhku akan
tertarik keluar dari cerita ini. Waktuku tak banyak” seruku. Kerajaan kembali
bergetar, suara petir diluar semakin menggila.
Aku
memeluk mereka berdua, tubuhku terasa makin berat. “Terima kasih Ifa” ujar ibu
sambil mengecup keningku. Aku tak bisa menahan airmata. Namun, tubuhku makin
berat sekali. Seperti tertumpuk berkilo-kilo beban di pundak. Tanganku terlepas
dari pelukan mereka.
“Selamat tinggaaaaaal” tubuhku tertarik sangat
jauh kesebuah lubang. Lubang itu menghisabku. Membawaku pulang.
***
Kepalaku
pusing dan tubuhku terasa sakit. Perlahan kubuka kedua mataku, langit-langit
putih, rak-rak besar berisi buku terlihat masih buram. Aku menggelengkan kepala.
Membuka mata sekali lagi. Kulihat seorang perempuan berseragam putih hitam
berdiri di depanku.
“Bu,
ini buku yang ibu cari” ia menyodorkan beberapa buku dan jurnal. Aku masih
terdiam, heran.
“Jam
berapa ini?” tanyaku.
“Sekarang
sudah pukul 14.40, dua puluh menit lagi kami akan tutup. Saya mencari-cari ibu
dari tadi. Ternyata ibu disini” jelasnya.
Aku
tersenyum menghela napas. Setelah meminjam buku ini. Aku segera pulang. Masih
ada waktu untuk sampai rumah sebelum kelas mendongeng dimulai. Entah aku bermimpi
atau tidak, namun petualangan tadi terasa amat nyata.
***
Begitu
pulang kudapati anak-anak masih setia menungguku. Sambil mengatur nafas aku
mengucapkan salam dan tersenyum riang pada mereka. Spontan wajah muram mereka
kembali ceria. Aku duduk di tempat biasa mendongeng.
Kulihat
luka di tangan kiriku. Luka yang kudapati saat berusaha memberontak dari Amad
Mude di hutan. Aku tergores kayu saat berlari. “Itu artinya petualangan tadi bukan mimpi” gumamku.
“Hari
ini kakak mengalami kejadian yang sangat luar biasa. Kakak akan menceritakan
kisah Putera Mahkota Amad Mude kepada kalian”
Mereka
menyimakku dengan saksama. Cerita hari ini sangat berkesan sekali untukku. Aku
dan Putera Mahkota dari Kerajaan Alas.
0 Response to "Ifa dan Putera Mahkota dari Kerajaan Alas #ENDING"
Post a Comment