CERPEN : BINTANG-BINTANG YANG JATUH #PART1
by : Google |
“Ini surat resign Saya Pak”
Amira menyodorkan amplop putih berisi surat pengunduran diri
yang dibuatnya sebulan lalu.
“Resign? Kamu kan mau saya promosikan jadi manajer”
Pak Nanto mengernyitkan alisnya, ia menatap Amira dengan
tanda tanya.
“Kenapa?” tanya Pak Nanto menyelidik.
“Saya punya tanggungjawab yang lain Pak di rumah” Amira
meremas kedua tangannya, menyembunyikan gemetar dan rasa tidak enak hati.
“Huff” Pak Nanto menyeka keringat dikeningnya yang lebar. Ia
menyandarkan tubuhnya ke kursi panjangnya. Tak pernah ada dibenaknya kalau
Amira, karyawan yang baru saja mendapatkan reward dari perusahaan atas kerja
kerasnya yang sangat baik dikemudian hari memutuskan untuk berhenti kerja.
“Kamu bukannya belum berkeluarga? Kamu kan masih muda, masa
mau resign?” Amira sudah menebak apa yang akan diucapkan Pak Nanto. Ia pun
sudah menyiapkan jawaban terbaik. Berkata jujur, memberitahu kondisinya saat
ini. Mungkin itulah yang terbaik.
“Bapak saya sudah tua, selama 1 tahun belakangan ini
sakit-sakitan, Bapak saya perlu pemulihan dan harus ada yang merawat Bapak saya”
Dada Amira terasa hangat dan sesak, bulir-bulir airmata juga
sudah menggumpal diujung pelupuk matanya. Bukan hanya disesakkan dengan pilihan
yang sulit, ia lebih sesak saat tiba-tiba wajah Bapak muncul dibenaknya, dengan
kerutan diujung mata, pipi yang tak lagi kencang namun tetap senyum sumringah
seraya mengatakan ingin melihat Amira segera menikah.
***
Amira merebahkan tubuhnya di kasur, ia menatap langit-langit
kamar, setelah sebulan resign Amira masih bertanya-tanya, apakah pilihannya
sudah tepat atau belum.
Ia memiringkan tubuhnya, mendekap kedua tangan di pipi,
meringkuh. Masih nyeri hati Amira ketika ingat perkataan Ibu tirinya saat makan
siang tadi. Amira sudah di tinggal Ibu kandungnya sejak ia berusia 5 tahun.
Lalu Bapak Amira menikah lagi saat Amira duduk di bangku SD.
“Kenapa kamu berhenti kerja Amira? Kan bisa ngurus Bapak
tanpa harus berhenti kerja. Sekarang kamu udah gak kerja, kamu dapat uang dari
mana?” Ibu mencibiri Amira yang sedang makan, bukan tidak mau mendengarkan apa
kata Ibu. Tapi, ini sudah menjadi keputusan Amira. Semakin mendengarkan, Amira
akan merasa usahanya sia-sia.
“Insya Allah, Amira masih ada tabungan Bu. Amira juga akan
cari pemasukan dari hal lain” jawab Amira mencoba menenangkan Ibu.
“Dan lagi, kalau kamu gak punya pekerjaan mana ada yang mau
sama kamu Amira! Katanya kamu mau menikah, gimana sih malah jadi pengangguran”
cetus Ibu pedas, Amira diam saja, ia tahu sikap Ibu tirinya bila sedang marah
membuncah-buncah. Ia lalu menyudahi makan siangnya yang masih setengah piring.
“Amira kenyang Bu” Amira mengelap bibirnya dengan tissue dan
meningalkan meja makan dengan hati yang memanas dan mata yang sudah berembun.
Amira menatap bingkai-bingkai di dinding kamar, tanpa sadar
airmatanya turun tak permisi. Pikirannya masih kacau, hatinya perih dan tubuhnya
serasa dihantam badai, lemas. Ia juga ragu apakah dirinya akan bisa mendapat
perhatian dari pria yang disukainya atau
tidak. Amira ingin terus di sisi Bapak terlebih dalam kondisi Bapak yang
seperti ini. Baginya, tak masalah berhenti kerja barang sebentar.
“Apa langkahku salah ya” gumamnya.
“Ah, tak taulah” Amira menelungsupkan wajahnya ke bantal.
***
Menjadi wanita karir adalah cita-cita Amira. Ia selalu
membayangkan memakai baju stelan kerja, datang tepat waktu ke kantor,
bernegosiasi, kerja tim dan melakukan banyak hal selayaknya seorang wanita
karir. Amira terlahir sebagai anak tunggal, ia memiliki Bapak yang sudah tua
dan sakit-sakitan sedangkan Ibu tirinya kurang telaten merawat Bapak, tentu
saja hal itu membuat Amira frustasi. Ditengah karirnya yang baik, ada Bapak
yang lebih membutuhkan Amira.
Bip bip bip
Ponsel Amira berdering, terlihat nama Acha di layar ponsel
Amira. Ia pun menggeser tombol hijau untuk mengangkatnya.
“Hallo?” Amira mengangkat ponselnya. Ia mengambil posisi
ternyaman di atas kasur. Terlentang.
“Hai Amira! Gimana kabarmu?” suara riang Acha menyambut
jawaban dari seberang sana.
“Baik Cha, kamu gimana?” sahut Amira tak kalah riang.
“Aku baik banget, sepi banget nih ga ada kamu di kantor, aku
kangen banget sama kamu Ra. Oh ya kamu masih ingat Ka Ayub kan?” Acha bicara
tanpa titik koma. Lalu, menyebutkan satu nama yang begitu keramat bagi Amira.
Ka Ayub.
“Duh Cha, kamu tetap ceria ya, aku juga kangen sama kamu Cha”
lanjut Amira, mengabaikan pertanyaan terakhir.
“Iiih, kamu masih inget Ka Ayub ga?” Acha mendesak.
“Iya masih Cha, ada apa?” Amira memelintir ujung helai
rambutnya, salah tingkah.
“Kemarin dia nanyain kamu loh” ledek Acha yang juga teman
curhat Amira hingga kini.
“Iya kah?” entah Amira harus senang atau tidak. Tapi, ia tak
bisa membohongi senyuman yang tetiba merekah di pipi.
“Kamu masih suka kan Ra sama Ka Ayub?” ujar Acha to the poin.
“Aku lagi ga mikir kesana Cha, aku lagi sibuk urusin Bapak”
jawab Amira cepat.
“Aku rasa kamu harus memikirkan dirimu juga Amira, kalau ada
kesempatan jangan dilewatkan ya Ra, belum tentu bisa hadir dua kali. Aku cuma
mau pesen itu aja sama kamu Ra”
“Iya Acha, makasih banyak ya, aku akan inget terus kata-kata
kamu”
Setelah hampir satu jam ditelepon Acha, keduanya menyudahi
telepon, Acha harus ke kantor pagi-pagi sedangkan Amira tidak biasa tidur larut
malam.
Setelah telepon di tutup Amira teringat seseorang yang di
sebut Acha tadi, “Ka Ayub ya”
gumamnya. Amira teringat kisah asmaranya yang hanya ia rasakan sebelah hati
dulu. Dulu sekali, mungkin rasa itu sudah jauh terpendam di dasar hati.
***
Amarah Ibu mulai meredam, Ibu mulai menerima keputusan Amira.
Kehadiran Amira disisi Bapak membuat kondisinya semakin membaik, ia rutin
membawa Bapak periksa ke dokter, mengontrol makanan dan menertibkan Bapak yang
sering lalai minum obat.
“Amira, bukannya kamu mau berkarir? Kamu balik ke kantor saja
ya” Bapak menatap Amira dengan dalam.
“Bapak, berkarir kan ga mesti di kantor Pak. Bapak lebih
penting untuk Amira rawat. Amira bisa memulai karir di rumah Pak” Amira menaruh
kembali obat-obatan Bapak. Dari gelagatnya, Bapak tahu kalau ada yang Amira
sembunyikan di muara hatinya.
“Baiklah Nak kalau itu pilihanmu, Bapak doakan, kelak kamu
akan membuat jenjang karirmu sendiri, kamu akan punya banyak pegawai
sampai-sampai kamu harus menolak setiap lamaran kerja yang masuk karena sudah
kebanyakan pegawai” ujar Bapak mendokan.
Bapak selalu mengajari bahwa impian harus dilempar jauh ke
ujung sana, hingga ia masuk ke alam bawah sadar kita. Melihat jauh masa depan
dari sini lalu merencanakannya sebaik mungkin sama halnya dengan menyambut masa
depan. Dan Bapak ingin Amira menyambut masa depannya tanpa keraguan.
***
lanjut part II https://syafa-udzmah.blogspot.co.id/2018/04/cerpen-bintang-bintang-yang-jatuh-part2.html
0 Response to "CERPEN : BINTANG-BINTANG YANG JATUH #PART1"
Post a Comment